Minggu, 22 April 2012

BAB VIII Romo Resi Pran Soeh Sastro Suwignyo mulai mempertahankan keyakinannya dan menempati petunjuk Tuhan.

Semenjak Raden Gunung menerima Wahyu Ilmu Sejating Puteri dan bisa wawancara dengan Tuhan. Perang bathin  mulai berkecamuk dalam dirinnya. Kalau tetap di kraton Yogya, hidupnya enak dekat Raja, lagi pula sangat disayang Raja. Teman-teman semua  menghargainya, Hoby yang dimilik tersalurkan. Semua serba ada, pekerjaan ringan, kalau mengikuti petunjuk disuruh bertapa selama 31 tahun, mungkinkah bisa/kuat melakukan hal itu?.
Kalau tidak mampu bagaimana jadinya?, perasaan seperti itu biasa, namanya manusia yang masih punya napsu.
Akan tetapi kalau tidak dilaksanakan, sayang sekali, sebab ini adalah urusan dengan Tuhan. Bertahun-tahun keinginan  Raden Gunung berdialog dengan Tuhan sudah terkabul, dia bertaruh nyawa untuk mendapatkan ilmu tersebut, terus sekarang bimbang untuk melaksanakan perintah tersebut. “Tidak…”, Raden Gunung melawan dirinya sendiri, untung atau rugi kalau menepati perintah tersebut. Tekadnya bulat, Raden Gunung lantas pamit kepada sang Raja, meskipun dicegah oleh Sang Raja.
Raden Gunung tetap dengan  pendirinya. Akhirnya Rajapun meluluskan permintaan Raden Gunung. Dalam hati Raden Gunung berkata, melihat sendiri, menyaksikan sendiri, mendengar sendiri, tetapiakan mengingkari peristiwa yang dialami, sama juga tidak ada hargadirinya, kecuali kalau hanya KATANYA, mungkin boleh tidak ditepati, tetapi peristiwa dengan Wanita Ratu tersebut susah dilupakan, dan suara tanpa wujud tersebut masih teriang-ngiang di telinganya.

Setelah itu Raden Gunung menuju Rumah Uwaknya di Desa Pundong, di Desa Pondong, Raden Gunug tidak boleh pergi dari kampong tersebut. Raden Gunung untuk sementara disuruh tinggal serumah dengan Uwaknya, syukur kalau mau agak lama Uwaknya akan bersenang hati. Sudah menjadi sifat/watak RadenGunung, tidak akan mengecewakan siapapun apalagi itu adalah Uwaknya. Raden Gunung cepatbergaul dengan remaja-remaja dikampung tersebut. Karena Raden Gunung mahir seni Jawa, Tari dang ending beliau di daulat untuk memimpin pentas seni di kampung tersebut, sekali lagi Raden Gunung tidak pernah mengecewakan siapaun. Raden Gunung jadi bintang panggung dan menjadi terkenal di mana-mana, karena masih muda, pasti banyak godaan, akan tetapi Raden Gunung tetap selalu ingat tujuan hidup semata”TAPANGRAME…” .Beliau terus pamit kepada uwaknya (PakDe) pada akhirnya mengizinkan Raden Gunung pergi ke daerah Kedhu dekat Gunug Tidar, di Desa Tejawarno ikut Pamannya , adik dari Ibu. Raden gunug masih sering berpindah-pindah sesuai petunjuk dari Tuhan, sekaligus mencari pengalaman dan pergaulan, puasa tetap, lebih ditingkatkan selain itu makan hanya satu kali dalam sehari semalam.

Raden Gunug Memegang Jabatan Carik (Sektretaris Desa) di Desa Tejawarna, terus pindah menjadi Carik di Desa Langgengsari. Didesa tersebut Raden Gunung mempunyai isteri untuk pertama kalinya, isteri anak ulama di Desa tersebut, semenjak berumah tangga namanya diganti denga Rps Sastro Suwignyo. Orang-orang di kampung Langgengsari tidak ada yang tahu apa nama Rps. didepan Sastrosuwignyo taunya Raden (Den Carik) karena Rps Sastro Suwignyo memang berdarah Biru.
Rps Sastrosuwignyo juga rajin ibadah sholat lima waktu. Kalau Adzan suaranya sangat merdu. Pernah suatu saat sebelum Sholat seperti biasa beliau Adzan, akan tetapi lama kelamaan suaranya berubah menjadi gending jawa. Pangkur Paripurna. Setelah Adzan orang-orang yang akan sholat (makmum) sudah bubar tidak jadi sholat di Masjid Pabelan tersebut.
Karena darah seni gendingnya (tembang ) memang tidak bisa dilupakan mungkin sewaktu Adzan tembang-tembang tersebut  mempengaruhinya. Setelah kejadian tersebut para tetangganya banyak yang tidak suka (sinis). Termasuk mertua yang tadinya kurang cocok semakin kecewa, akan tetapi Rps Sastro Suwignyo orang yang sangat berbudi luhur, beliau tetap ramah dan rendah hati, pandai menutupi perasaan, itulah hasil olah batin mengalahkan napsu dan mengendalikan emosi sehingga semua baik-baik saja, dengan tutur bahasa yang sempurna dan pandai memuaskan perasaan orang, mertunya dan para tetangganya pun tetap bersikap baik terhadap Rps Sastro Suwignyo.
Rps Sastro Suwignyo mempunyai anak satu tetapi tidak berumur panjang, tidak lama kemudian istrinyapun meninggal dunia.
Rps. Sastro Suwignyo beristri lagi kedua kalinya, beliau tidak dikarunai anak. Pada suatu saat Rps Sastro Suwignyo mendapat cobaan yang sangat berat, beliau diserang penyakit gatal (semacam kudis) sampai bertahun-tahun tidak sembuh, beliau jarang keluar kalau tidak perlu, karena malu menderita sakit seperti itu, isteri yang tadinya setiapun luntur kasih sayangnya. Terlihat sikapnya terhadap Rps. Sastro Suwignyo, beliau tanggap yang menjadi isi hati isterinya.
Pada suatu hari isterinya dipanggil oleh Rps Sastro suwignyo, lebih baik pisah (bercerai) dari pada memaksakan diri, nantinya tidak baik, istrinya diberi pengertian secara baik-baik, suami isteri (rumah tangga) semestinya dalam keadaan apapun harus sehidup semati, selagi masih muda, masih kuat, masih gagah, masih sehat, bahkan dalam keadaan miskin sekalipun harus saling mencintai sampai hayat, jadi saat-saat enak saja kita rukun, gembira, mesra, begitu ada masalah kehidupan semuanya luntur dan berantakan.

Semula istrinya tersentak (kaget) ternyata suaminya mengetahui perubahan sikap isterinya. Dia lalu meminta maaf sambil menangis, dia merasa bersalah dan mengetahui, dia tidak mau diceraikan, Rps Sastro Suwignyo dengan bijak memberikan pengertian panjang lebar kepada sang isteri, yang akhirnya menerima keputusan tersebut dengan saling pengertian dan iklas, lalu bercerailah isteri diantar ke orang tuanya selesai.
Rps Sastro Suwignyo mengoreksi dirinya sendiri (mawas diri) pasti sedang di coba oleh Tuhan, tinggal tegar apa tidak menghadapi cobaan itu. Dia selalu ingat petunjuk waktu dipantai Parangtritis dulu suara itu seolah mengiang  ditelinganya “ Tapa Ngrame ing guwa samun telung puluh siji tahun lawase ing sacedake gunung Tidar, besuk bakal nengahi lakon para lakon”, memang sekarang ini Rps Sastro Suwignyo dekat Gunung Tidar posisinya.
Beliau masih menjabat Carik Desa, sudah bulat tekatnya akan lebih keras terhadap dirinya sendiri supaya terlaksana apa yang telah didengar dari Tuhan terrsebut sekalian menyiksa diri, Raden Gunung hampir tidak mempunyai harta sedikitpun. Isteri yang tadinya setya, sudah luntur sikapnya dan akhirnya bercerai, dia harus lebih meningkatkan tirakat/puasa. Setiap malam beliau mandi berendam di sungai Senawa, untuk menyiksa diri supaya mendapat ampunan dari Tuhan, bilamana ada kesalahan, dan beliau minta diberi jodoh (isteri) sesuai petunjuk Tuhan, sehingga nantinya mempunyai keturunan. Beliau tidak akan beristri lagi kalau tidak akan mendapat petunjuk. Kemudian Beliau numpang hidup kepada orang miskin/suami isteri yang tidak mempunyai anak dan hidupnya sangat melarat (susah)  pencariannya sang suami buruh mengambil bahan untuk gula jawa, setiap hari naik turun pohon kelapa mengambil getah bunga kelapa, sang istri pekernyaanya mengumpulkan sisa panen pada yang masih tertinggal di sawah, Rps. Sastro Suwignyo pernah mengalami bahkan sering, mau makan akan tetapi menunggu gabah yang masih basah di panggang supaya kering, sehabis itu baru ditumbuk terus dimasak, barulah beliau dapat makan nasi. Bayangkanseorang carik Desa darah biru menderita hidup yangsuper sengsara. Jauh sekali waktu hidup di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang serba ada, di hormati sesame teman.

Beliau tetap tegar karena memang akan menggapai cita-cita yang sangat luhur, akan menjadi PENEGAH SEGALAPAHAM UMAT MANUSIA.
Meskipun tirakat (Tapa) habis-habisan beliau tidak pernah tirakat seperti orang Tapa, namanya saja TAPA NGRAME ING GUWA SAMUN, jadi sengaja supaya orangtidak tahu, tidak akan menimbulkan kesombongan, namanya mengalahkan napsu ya jangan ditonjol-tonjolkan kalau puasa (samun Jawa) artinya samar tidak kelihatan. Orang Puasa (tirakat) untuk orang jawa, sampai orang lain tahu, pahala dari Tuhan berkurang,untuk itu kalau ditanya, Kamu sedang Puasa ya?. Umumnya “Ah tidak”, dia menjawab.
Setelah merendam  disungai Pabelan setiap malamRps Sastro Suwignyo pada tahun 1905 mendapat petunjuk(Ilham) dari Tuhan, “Setiap tidur supaya berdoa dengan membaca Ayat Di Alquran
1.       Surat Al-Ikhlaash
2.       Surat An-Naas
3.       Surat Al-Faatihah
Masing-masing membacanya sebanyak 11 (sebelas) kali. Petunjuk segera dilaksanakan setiap malam, tetapi mandi merendam di sungai setiap malam terus dilakukan, lama kelamaan sakit gatal-gatal sembuh, barulah Rps. Sastro Suwignyo mau berkumpul dengan tetangga. Rps Sastro Suwignyomasih menumpang di rumah orang yang hidupnya miskin tersebut.
Pernah mengalami tidur hanya beralaskan jerami, tidur kehujanan katapnya   bocor. Pendirataannyasudah luar biasa.
Pada suatu hari permohonan minta jodoh di jawab oleh Tuhan, tetapi harus bersabar 7 (tujuh) tahun lagi. Karena calon isterinya masih kecil. Beliau sabar menunggu. Kemudian disamping itu beliau mendapat petunjuk dari Tuhan. Agar hidup beliau berkecukupan, hidupnya harus ikut saudagar tembakau, yang berketurunan Tionghoa yang bernama Kho Kiem Gwan. Petunjuk dari Tuhan dijalankan beliau menunggu sampai tujuh tahun harus menduda dulu, karena menepati janji Rps Sastro Suwignyo tetap teguh dan taat, ini bukan main-main, mohon petunjuk (dhawuh) sudah diberi jawaban harus dilaksanakan, sebab kalau tidak dilaksanakan akibatnya:
1.       Bisa mendapat Sangsi dari Tuhan
2.       Menghina kepada Tuhan, sebab mohon petunjuk dari  Tuhan bukan perkara mudah, kalau tidak menguasai metodenya, hanya orang-orang tertentu yang mendapatkannya.
Tahun 1912 Rps Sastro Suwignyo menikah untuk yang ke tiga kalinya, anehnya calon isteri yang ditunjuk berdasarkan dhawuh (petunjuk) Tuhan cocok dengan alamsasmito maya yang dulu diterima oleh Rps. Sastro Suwignyo, beliau sudah umur 44 tahun sedangkan calon isterinya masih menginjak usia remaja, anehnya calon isteri tidak menolak dilamar untuk menikah oleh Rps Sastro Suwignyo. Inilah yang disebut jodoh pemberian Tuhan, pasti akan terjadi dengan berbagai proses (namanya Takdir).

Rumah tangga rukun dikarunai banyakanak, Rps Sastro Suwignyo sangat menyayangi isteri dan anak-anaknya, itu bisa dibuktikan dengan tanggung jawabnya yang luar biasa, mencuci pakaian, memandikan anak-anak, menyuapin makan, semuadijalankan sendiri. Tetangganya semua pada heran terhadap Rps Sastro Suwignyo , untuk ukuran pada masa itu tidak lazim orang laki-laki mencuci, memandikan anaknya, apalagi menyuapi makan kepada anaknya. Sebabitu pekerjaan ibu rumah tangga apalagi Rps Sastrosuwignyopunya mempunyai jabatan dan memakai panggilan Raden (karena memang masih keturunan Raja).
Hal itu mengherankan paa tetangganya, namun beliautidak pedulikan ucapan para tetangga, semboyannya “ Ini anakku, Rohku, siapa yang harus mengurusi kalau bukan saya”.

Meskipun cita-citanya terkabul, beliau tetap makan 1 kali sehari semalam, tirakat (puasa) tetap dijalankan dengan senang hati., beliau tidak lupa tugas-tugas yang telah diterima secara goib, beliau selalau ingat semua petunjukdari Tuhan, berarti tugasnya belum selesai, sebab 31 tahun.

Kesenian tetap menjadi hobi yang susah ditingalkan, tarian-tarian, wayang orang dan lain-lain tetap digeluti, segala kegiatan umumnya orang desa diikuti, misalnya lomba balapan burung dara, perlombaan memanah. Semua dilakukan hanya untuk penyamaran yang sebetulnya beliau menjalankan tugas-tugas dari Tuhan, hanya saja supayajangan sampai banyak pertanyaan dari anggota masyarakat sekitarnya, beliau selalu menutupi tirakatnya tersebut.

Pada waktu itu hidupnya masih morat-marid, ekonomi berantakan, anak banyak dan masih kecil-kecil, bertempat tinggal di Desa Prebutan, Rumah dengan empat tiang kayu, atapnya daun rapak, dinding dari Slumpring semua banyak berlubang, pakaian keluarganya tidak layak dipakai, membeli kancing baju saja tidak ada uang, sehingga kancing baju di ikat denga kulit jagung.
Akan tetapi beliau tetap setia kepada Tuhan, tetap tegar, gembira dan berjiwa besar, dalam hal pergaulan tetap berwibawa tidak minder, tidak pernah mencari balas kasihan, tidak terlihat rendah hati atau bersedih hati.

Sewaktu hari beliau berjalan dia tegur seorang hartawan warga Tionghoa, namanya Khouw Kiem Gwan dan disuruh mampir dulu di rumahnya, hartawan tadi bertanya kepada Rps Sastro Suwignyo, apakah mau membantu jadi tukang ukur tanah? (land Meter) beliau menjawab “Iya”.  


Rps. Sastro Suwignyo ingat waktu mohon jodoh dulu, disitu Tuhan memerintahkan untuk bekerja pada Khouw Kiem Gwan. Beliau di test soal hitungan luas Tanah, ternyata lulus, segera di suruh bekerja dengan dibayarRp. 75,- (tujuh puluh lima rupiah), semenjak itu punya pekerjaan sambilan. Khouw Kiem Gwan sangat percaya kepada Rps. Sastro Suwignyo karena kecerdasan dan kejujurannya, juga sangat disiplin, terus diberi kepercayaan pembebasan tanah serta belanja tembakau, bahkan uang untuk keperluan bisnis tersebut diserahkankepada Rps. Sastro Suwignyo sepenuhnya, selama Rps. Sastro Suwignyo membantu Khouw Kiem Gwan menjadi kaya raya.

Mulai saat itu beliau sering berkebun untuk mengurusi tanaman tembakau, lama-kelamaan paham cara-cara bisnis tembakaudari menanam, merawat sampai menjadi rajangan siap untuk dibuat rokok, system penyimpanan., pendek kata mahir soal urusan tembakau, bahkan siapapun yangingin kaya disuruh bertani tembakau (untuk saat ini). Setiap hari pulang pergi ke sawah akan tetapi makan tetap 1 (satu) kali sehari semalam, masih ditambah puasa-puasa yang lain, pendek kata untuk ukuran orang biasa pasti tidak kuat dengan tirakat seperti beliau, memang beliau bukan orang sembarangan (bayangkan orang bisa berhubungan dengan Tuhan, semua petunjuk diterima dari Tuhan dikemudian hari betul-betul terjadi tidak pernah meleset).

Untuk mendukung stamina kalau sedang pekerjaan tanggung, tidak bisa makan siang, Rps Sastro Suwignyo sering berbekal emping dan pisang raja di masukkan di Saku bajunya. Emping dan pisang raja untuk orang jawa pada waktu itu pasti punya maksud tertentu, secara goib. Para pembaca kalau berminat boleh mohon kepada Tuhan, siapa sebetulnya Rps. Sastro Suwignyo itu. Jadi jangan katanya-katanya harus dibuktikan sendiri dengan syarat menetapi angger-angger 11 (sebelas), seperti yang tertulis pada BAB 2, tulisan ini anda pasti bisa. Sudah barang tentu harus didampingi para penyluh (pebimbing yang telah lulus), mudah-mudahan.

Penghidupan Rps. Sastro Suwignyo sudah mulai stabil meskipun tetap masih kekurangan, hobinya tetap tidak bisa ditinggalkan TARAK BRATA (PUASA), masih seperti dulu menolong sesama hidup wajib hukumnya untuk sesama hidup, orang tidak bisa bertahan tanpa bermasyarakat andai kata bisa pasti tidak akan normal.

Kalau ada aparat desa (teman-temannya) yang korupsi, beliau berupaya untuk membantu sebisanya supaya tidak terjerat hukum,  dibantu seperlunya, dinasehati untuk berbuat jujur, lugas, lugu (apa adanya), sekaligus diberi contoh-contoh yang nyata, supaya sadar.”Kalau orang senang pangkat, harus sayang dengan pangkatnya “, harus dijaga jangan samapai pangkat (kedudukannya hilang).
Pendidikan anak, sangat bagus anak yang menjadi panutan adalah tingkah laku orang tuanya. Sayang dengan anak tidak usah ditunjukan, yang penting keinginan anak dipenuhi asal tidak berlebihan, begitu juga dengan isteri cukup di berikan uang untuk kebutuhan sesuai keinginnya, sebab kalau dibawakan oleh-oleh atau  dibelikan pakaiaan biasanya malah curiga. Orang laki di Jawa umumnya yang mencari nafkah isteri kegiatan mengelola keuangan (untuk masa itu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar