Rabu, 16 Mei 2012

BAB XVIII GUNUNG KIDUL YANG GELAP GULITA

Setiap tulisan yang  penulis muat disini berupa sejarah perjalanan Romo Panutan yang berisi pendidikan moral dan budhi pekerti kepada murid-muridnya, dengan harapan supaya murid-murid tersebut mendapatkan ketentraman hidup lahir yang kita lakukan sesuai izin Beliau meskipun hanya menyangkut urusan yang sangat sederhana, dengan demikian apa yang kita lakukan tidak pernah ada resiko/musibah yang menimpa diri kita dan keluarga kita, Hanya masalahnya pasti ada kendala, manakala diantara anggota keluarga kita ada yang tidak mau mempelajari ilmu Tiga Perangkat, bahkan lebih parah lagi kalau diantara anak-anak kita justru memusuhi paham kita, sedangkan mereka tanggung jawab kita kalau sudah begitu, itu namanya musibah bagi kehidupan kita, ibaratnya makanan, sepahit apapun harus kita telan. Para pembaca, hidup ini berat, yang enteng atau ringan, kalau kita hanya memikirkan urusan dunia, sebab kebutuhan orang hidup itu juga penting, banyak ilmu atau keterampilan untuk mencari harta itu mudah, akan tetapi kalau kebutuhan hidup (Roh Suci ) ya, harus membatasi keinginan nafsu, harus dibagi untuk dunia 50% untuk kebutuhan Suksma 50% untuk Kadang golongan dari wilayah Gunung Kidul sering mendapat pujian dari Panutan, karena cepat tersebarnya ilmu tersebut, hanya masalahnya kwantitas/jumlah besar akan tetapi mungkin kwalitas, Menurunnya kwalitas penghayatan akan berdampak malapetaka, terlalu giat melebarkan sayap akan tetapi mutunya rendah, boleh di katakana nafsu besar tenaga kurang, lebih baik satu orang mendapatkan petunjuk jelas dari Tuhan dibandingkan 1000 orang memohon akan tetapi tidak mendapat mimpi, mendapat mimpi akan tetapi tidak jelas, jadi murid-muridnya Romo Panutan bukan jumlah yang dituntut, akan tetapi kwalitas. Hal ini telah penulis hayati dilingkungan keluarga dan kadang golongan, mereka didik benar, di control setiap hari, diberi contoh baik tindakan, sikap, perilaku setiap hari, setiap sore penulis memberi pekerjaan bathin untuk setiap orang dalam menangani suatu masalah hasilnya besok malam berkumpul bercerita tentang mimpi masing-masing lalu disimpulkan dan diputuskan bersama bagaimana kita bertindak, itu yang namanya “ Saya melakukan berdasarkanpetunjukmu ya Tuhan “ contoh juga sekarang ini tahun 2012 murid-murid Panutan yang Katam menjelang pemilihan President 2014/President Indonesia ke VII/ sudah banyak yang memohon siapa yang akan terpih untuk lingkungan Panulis sendiri sudah mendapatkan petunjuk yang terpilih nantinya, tinggal murid-murid yang lainnya yang tersebar diseluruh Indonesia belum ada informasi, mudah-mudahan semua Kadang Golongan segera selalu siap menghadapi situasi dunia utamanya Indonesia, mungkin murid-murid sedang asyik dengan dunianya masing-masing barang kali, oleh karena itu Romo Panutan dulu pernah berkata, lebih baik mempunyai murid sedikit tetapi  bernas (berisi) dari pada banyak murid akan tetapi malah banyak beban, itu betul sekali sebab jaman Nabi Nuh waktu dunia di telan air bah, yang turut naik perahu Nabi Nuh berapa orang ? coba pembaca tebak berapa jumlahnya ? Perahunya sebesar apa terus muat berapa ? untuk tempat-tempat binatang, misalnya : Ikan paus, Hiu, Kuda nil, Jerapah, Dinasurus, Harimau, Kucing, Tikus belalang, Kecoa, dan sebagainya pendek kata binatang-binatang satu pasang, yaitu jantan dan betina, belum ular Anakonda Yang panjangnya sampai 40 meter, Kemungkinan untuk umat manusia tidak banyak, mudah-mudahan pembaca merenungkan cerita diatas. Kalau Penulis percaya-percaya saja karena Kanjeng Nabi Nuh Utusan Tuhan, kalau Beliau menghendaki apapun tidak mustahil, pasti terjadi, siapa yang mau berdebat tentang kejadian itu, kita ini hanya umat manusia yang sangat lemah, jalani hidup ini apalagi adanya, tidak susah membuat masalah apalagi berdebat, tentang cerita tersebut, supaya jalan kita menghadap Tuhan lapang tidak ada hambatan.
          Gunung Kidul terserang bahaya kelaparan hebat, musim kemarau panjang, cadangan pangan tidak cukup, sedangkan air minumpun untuk waktu itu air Telaga atau air hujan sudah mengering, jadi air minum di datangkan dari Wilayah lain, memang daerah kritis (tanahnya berbatu, pegunungan Kapur). Pertanian tergantung air hujan tanaman yang cocok hanya Singkong (Ketelo) itu makanan pokok Rakyat disana (waktu itu, kalau sekarang sudah makmur), Penulis kerena lahir disana 24 tahun makan nasi singkong (Gaplek) minum biasa air Telaga tetapi di masak dulu, sekarang sudah sombong tidak pernah mengenal nasi Gaplek (Thiwul).
          Di Gunung Kidul bencana kelaparan selain musim kemarau panjang juga hama tanaman (tikus) menyerang sampai habis segala tanaman, Karena kekuranganpangan, phisik lemah, semangat hilang, Kadang golongan jarang berkumpul karena berat mencari makandan akhirnya tipis iman, jalan pintas, akhirnya jadi mangsa Wahyu sejatining Kakung/Putri.Banyak yang sakit, meninggal (suksma tersesat). Panutan akhirnya turun tangan ke Gunung Kidul, memberi  tumbal/syarat supaya murid-murid segera ingat dan mendekat pada Tuhan. Atmawiharja dan Damarjodisastra diberi tugas untuk mencarikan Burung Perkutut dari desa Trawana (sebelah Barat Daya Kota Wonosari termasuk Wilayah Gunung Kidul),  berapa harganya harus dibeli tidak boleh tawar, anehnya ada orang tua yang membawa burung perkutut harga murah, dan dibeli oleh kedua orang tersebut, langsung di bawa ke jagalan Muntilan, diserahkan kepada Panutan. Maksud dan tujuan membeli burung dari Trawana adalah di sesuaikan dengan petunjuk bathin, karena di desa Trawana tadi menjadi sumber Jin/Roh jahat  yang menjadi biang malapetaka di Gunung Kidul. Panutan memrintahkan kepada Kadang golongan daerah semua untuk sering berkumpul  (Sarasehan) sembahyangan bersama dan berpindah-pindah dan dimulai dari daerah Semanu disamping itu juga mementaskan seni Kerawitan/dan Gerongan /tembang yang di nyayikan oleh                                                                       
Bersambung.............

BAB XVII BERDIRINYA ASTANA WAJA DAN BALESUCI PRAN SOEH

      Dalam tulisan selanjutnya pengabaran ilmu tiga perangkat semakin banyak dan semakin rumit, disini dijelaskan ajaran Romo Panutan kepada para murid-murid senior yang pada saat ini murid-murid tersebut sudah banyak yang meninggal, masih ada yang tersisa satu dua yang hubungannya dengan Panutan termasuk dekat, akan tetapi tidak banyak menyimpan cerita, kalau ditanya kesan selama menghadap dan mengenal Panutan bagaimana? Jawabannya: Beliau sejuk,Ramah, banyak sekali muridnya, sangat berwibawa, Sederhana, Rajin bekerja, berpakaiaan tradisional jawa, rendah hati,dan sebagainya, masih banyak kelebihan-kelebihan yang disaksikan oleh masing-masing murid, akan tetapi tidak dimasukan dalam dokumen sejarah Panutan, untuk murid-murid terutama sahabat-sahabat Panutan yang jumlahnya 11 (sebelas orang) yang sekarang sudah tidak ada, sebetulnya pasti banyak cerita yang sangat beragam kalau dibukukan, sayang sekali para sahabat tidak banyak meninggalkan catatan tentang hubungan mereka dengan Panutan. Apa saja yang mereka bicarakan selama ini, padahal kalau penulis pernah mendengar cerita dari Bapak Pujosuwito banyak sekali hal-hal yang aneh yang dialami selama Bapak Pujosuwito menghadap dan turut mengantarkan Panutan ke pelosok Wilayah untuk melihat dari dekat keadaan muridnya contohnya, menurut cerita Bapak  Pujosuwito : Pada suatu hari Bapak Pujosuwito berunding dengan istr inya, bagaimana kalau Rumah dan pekarangannya yang sekarang di tempati di desa Jeruksari Wonosari di jual saja, dan pindah tempat, rupanya Ibu Pujosuwito mendukung saja. Tidak lama berselang hanya beberapa menit Romo Panutan datang dan berkata : “ Nak Pujo, Nak Pujo, Petaranganku rak isih to ? ora sido d idol too?” Kira-kira begitu Romo Panutan berkata kepada Pujosuwito dan istrinya, yang artinya begini :” Nak Pujo,Nak Pujo, Sarangku masih ada kan ? tidak jadi dijual kan?” disini istilah sarang maksudnya rumah.Bapak  Pujosuwito kaget dan heran, mungkinkah Romo Panutan bisa terbang? Pertama jarak rumah Panutan ke gunung Kidul (Rumah Bapak  Pujosuwito) hampir 100 km, Kedua Panutan mengetahui rencana Bapak  Pujosuwito untuk menjual Rumah, Akhirnya Bapak Pujosuwito tidak jadi menjual Rumah, sampai saat ini Rumah tersebut masih ada, ditempati keluarganya. Masih ada cerita lagi tentang Bapak  Pujosuwito : Bapak Pujosuwito beristrikan Ny.Pujosuwito nama istrinya penulis tidak tahu, Dari perkawinan mereka berdua tidak di karuniai anak, Bapak  Pujosuwito pasrah kepada Tuhan karena tidak mempunyai keturunan. Pada suatu hari waktu menghadap Panutan tiba-tiba Panutan berkata:” Nak Pujo, Ditrimak-trimakake, saiki ora nduwe anak, sok rong atus Tahun meneh, Rak diparingi” artinya : “Nak Pujo, sabar, diterima apa adanya, sekarang tidak mempunyai anak, nanti dua ratus tahun lagi, pasti di karuniai anak” Bapakl  Pujosuwito diam tertunduk mendengar kata Panutan tersebut, dalam hati dua ratus tahun lagi akan mempunyai anak, hitung punya hitung kira-kira nanti tahun 2150 dia akan hidup si dunia, dan di beri anak, coba saja para pembaca mohon kepada Tuhan, sekitar tahun 2150 ada ada kejadian apa ? apakah kita kira-kira juga hidup lagi (Reinkarnasi), hanya Tuhan yang Kuasa.
          Kita kembali ke judul semula, rencana pembangunan,” Astana Waja” (makam Panutan dan Ibu Panutan) beserta Pembangunan “ Balesuci Agung Gedhong Pran Soeh Tlaga Maharda “. Perlu dijelaskan apa yang dinamakan Balesuci Agung Gedong Pran Soeh. Tempat itu disebuah bangunan besar berupa pendapa berbentuk Joglo (adat Jawa) terdiri dengan tiang bejumlah duabelas tiang semua dari bahan kayu jati pilihan, bahkan soko guru induk asalnya dari satu pohon, kerangka lainnya juga bahan dari kayu jati yang sangat tua (Ratusan Tahun umurnya). Tempat itu kalau di alam bathin tempat suksma manusia yang sudah sempurna (Ikut Utusan Tuhan). Kalau alam lahir (dunia) tempat tersebut  khusus untuk sembahyangan (berdoa) dan Balesuci Agung Gedong Pran Soeh kalau dari dalam terlihat hanya satu ruangan akan tetapi kalau dilihat dari luar (dari jauh) tampak rumah Pendapa berderet tiga (disesuaikan dengan ilmu tiga perangkat).
          Astana Waja : Tempat bersemayamnya  (makam) Romo panutan dan Ibu Panutan, terletak di Utara Bale Suci Gedong Pran Soeh (berdekatan). Astana Waja dan Bale Suci Gedong Pran soeh, sebetulnya posisinya terletak di atas Tlaga Maharda. Dalam posisi lahir, Tlaga Maharda berupa kolam kecil tetapi kalau dilihat di alam Ma’Rifat berupa lautan yang tidak ada tepinya, tempat rajanya nafsu, yaitu Wahyu Sejatining Kakung / Putri, juga tempat suksma manusia yang tersesat, jelasnya Tlaga Maharda tempat Hawa nafsunya Panutan (Romo Resi Pran Soeh Sastrasuwignyo). Tlaga Maharda di timbun, diatasnya berdiri tempat suci berupa ASTANA WAJA dan Bale Suci Gedong Pran Soeh, dengan tujuan supaya angkaramurka harus di bawah Kesucian (di timbun). Bangunan Astana Waja berupa bangunan beton bertulang berbentuk Piramide dengan pintu terbuat dari baja, tidak seorangpun boleh masuk kecuali satu Keturunan Panutan, Dan Orang-orang katam yang bersih (bersih dalam kurun waktu 11 (sebelas) hari harus dapat bertemu salah satu ilmu tiga Perangkat) Atau sebelum Ziarah orang katam tersebut harus mohon izin dulu lewat mimpi, diperbolehkan tidak ziarah ke makam Romo dan Ibu Panutan tersebut, orang yang belum Katam sama sekali tidak di izinkanZiarah. Bale Suci Gedong Pran Soeh Tlaga Maharda di jaga seorang Juru Kunci pilihan (harus ditugaskan langsung dari Tuhan lewat mimpi) Karena tempat tersebut tidak sembarang orang berani, Karena angker (sakral). Semenjak berdiri hingga sekarang tempat suci tersebut di jaga oleh Bapak Suromujono, beliau langsung  di tugaskan oleh Romo Panutan (pada waktu Romo Panutan masih ada di dunia).
          Posisi Tlogo Maharda yang berupa kolam (seperti  kolam renang) terletak besebelahan dengan Makam Panutan (sebelah Timur makam Panutan). Begitu sekilas gambaran tentang tempat suci yang terletak di desa Jagalan, Muntilan, Jawa Tengah,Indonesia.
          Sekarang Penulis baru akan bercerita awal mula berdirinya : ASTANA WAJA Bale Suci Gedong Pran Soeh, Tlaga Maharda. Yang sebetulnya ketiga nama tesebut tidak boleh dipisahkan di alam dunia akan tetapi, kalau dialam mimpi , disana dunia halus yang tidak ada batasnya. Sebab disana terlihat alam akhir (juga disebut alam Purwa). Tempat Tuhan Yang Maha Esa, ada alam antara (tempat pengadilan suksma-suksma) dan ada pula alam hukuman/alam siksaan, oleh karena itu setiap pengunjung harus jelas tujuannya  anggota kadang golongan atau bukan, kalau hanya ingin iseng –iseng (coba-coba) sangat riskan.
          Pada suatu saat Panutan yang sedang duduk di hadapan beliau murid-murid  banyak sekali yang sedang menghadap, tiba-tiba beliau berkata :” Aku iki wis tuwa banget, iha wong besok 30 September 1953 iki umurku wis genep 85 tahun, Ibu mu uga wis widakan tahun, etungku yen orakleru, suk semana olehku dadi carik wis 56 (skeet enem tahun) “ Setelah beliau berkata begitu, para murid sudah tanggap, mengerti apa yang dimaksud kata-kata Panutan tadi. Oleh karena itu setelah menghadap Panutan tadi murid-murid segera mengadakan pertemuan, hasil pertemuan di simpulkan, segera membangun makam Panutan dan Ibu Panutan, di putuskan perletakan batu pertama bersamaan dengan hari lahir beliau, yaitu hari Rebo Pahing 30 September 1953. Hari itu bertepatan dengan hari Panutan yang ke 85 tahun (Tumbuk Yuswa) Tumbuk Yuswa  maksudnya hari dan Tanggal lahir jatuh sama pada waktu itu, dan itu tejadi pada orang yang mencapai umur 85 tahun atau lebih untuk mencapai Tumbuk Yuswa manusia seumur hidup hanya satu kali, oleh karena itu oleh panitya merencanakan orang tersebut dibuat semeriah mungkin dengan pagelaran Wayang Kulit, dengan mengundang para pembesar/Pejabat Pemerintah dan teman-teman Panutan. Dana untuk acara tersebut di tanggung oleh para murid-murid Panutan secara Bergotong-royong. Tempat tinggal Panutan diminta sebagai pusat acara tersebut.
          Rencana tersebut segera di laporkan kepada Panutan, dan Panutan setelah mendapatkan laporan tentang rencana tersebut Beliau sangat gembira, bahkan Panutan akan membantu apa yang diperlukan panitya tersebut. Kemudian Panutan menyediakan Tanah untuk rencana Pembangunan tempat Suci tersebut, yaitu sebidang Sawah milik Panutan sendairi.
          Sawah tersebut, sudah ada danau keccil dan batu-batu alam seperti bukit (puntuk/geneng) danau tersebut oleh Panutan di namakan “ Tlaga Maharda “ Artinya Telaga. Maharda bahasa Jawa singkatan dari Maha-harda, Maha artinya Besar, Harda artinya Nafsu, jadi kalau disimpulkan maksudnya Nafsu yang sangat besar. Pusatnya Nafsu yaitu tempat tinggalnya Wahyu Sejaning Kakung/Putri/juga Hawa Nafsunya Romo Resi Pran Soeh Sastrosuwignyo, diatas sudah penulis singgung, Tlaga Maharada meskipun luasnya tidak seberapa, di alam halus merupakan Samudra luas tanpa tepi, orang bisa bermimpi melihat Tlaga Maharda, apa lagi sampai tercampur kedalamnya, tinggal menunggu waktu ajalnya, kecuali bisa bermimpi bertemu dengan Suksma Sucinya Romo Panutan (Utusan) orang tersebut akan selamat, akan tetapi kalau dalam kurun waktu tiga sampai tujuh hari tidak bisa bertemu Suksma Sucinya Romo Panutan, atau Suksma Nabi Nuh, Nabi Adam, Nabi Isa, Nabi Muhamad. Sunan Kalijaga, laga Sultan Agung dari Mataram dan Nabi-nabi yang lain ( yang sebetulnya hanya satu) orang tersebut yang mimpi tercebur di Tlaga Maharda (Samudra pati) tinggal menunggu waktu ajalnya dan Suksmanya pasti ikut hawa nafsunya Romo Rps Sastrosuwignyo (iya hawa nafsunya Nabi-nabi tersebut diatas, sebab wujud hawa nafsunya Nabi tersebut sama.
          Tlaga Maharda yang di urung (di timbun) yang menjadi tempat bersemayamnya Panutan (Pesareyan Panutan) yang disebut Astana Waja yang maksudnya Makam yang kuat (Pesareyan Kang Kuat) adalah Pusaka yang akan menjadi pusat umat manusia untuk mencari bekal menghadap Tuhan, dengan ingat Astana Waja manusia akan ingat siapa yang ada di dalamnya disitu bersemayam Guru Agung yang telah bisa menggali tabir Rahasia bagaimana bisa menegerti sampai rinci, bagaimana manusia bisa menebus dosa sebelum ia mati, bagaimana manusia bisa bertemu dengan Utusan Tuhan, bagaimana manusia bisa mengenal dirinya sendiri (Saudara kembar) yang pada akhirnya kalau manusia tekun akan bisa mengenal Tuhan, bagaimana manusia bisa membedakan antara Suksma dan Nyawa, yang akhirnya Suksma ikut siapa? Nyawa ikut siapa? Dan Raga (jasmani) Kemana?
          Tentang Bale Suci Agung Gedong Pran Soeh Tlaga Maharda, disitu ada kata Agung artinya disitu memang pusatnya tempat kesucian, disitu berkumpulnya suksma-suksma manusia yang mati Sampurna. Tlaga Maharda tidak bisa dipisahkan karena baik secara lahir maupun Bathin, Bale Suci Gedong Pran Soeh memang diatas Tlaga Maharda posisinya. Diatas penulis lupa memberi penjelasan tentang perkataan Romo Panutan pada waktu duduk di hadapan murid-muridnya, Beliau mengingatkan murid-muridnya bahasa Jawa yang artinya begini “ Saya sudah lanjut usia, besuk tanggal 30 September 1953, umurku sudah 85 tahun, Ibumu juga sudah 60 tahun. Saya menghitung menjabat Carik sudah 56 tahun “. Itu tadi yang  penulis lupa menterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Itulah yang menggugah murid-muridnya, lalu merencanakan pembangunan Makam untuk Panutan dan Ibu. Pelaksanaan upacara peletakan batu pertama Pembangunan Makam Romo Panutan berjalan lancar sesuai dengan perencanaan panitya. Rumah Panutan sampai lokasi tempat makam yang akan dibangun yang berjarak -+ 500 meter, dipajang-pajang berbagai umbul-umbul dan hiasan-hiasan lainnya, yang menambah semarak dan suasana, Disebelah kiri dan kanan jalan menuju pusat Upacara masih berupa areal persawahan yang indah. Tamu-tamu Pembesar Pemerintah juga hadir. Jurnalis/Pers juga hadir dari perguruan tinggi gajah Mada Yogyakarta hadir juga para Mahasiswa, Prof.Jayadiguna (Rektor Universitas Gajah Mada) hadir dalam acara tersebut, para siswa Sekolah banyak yang heran menyasikan acara tersebut.
          Acara di mulai dengan sembahyangan ala Kadang Golongan (dengan bahasa Jawa), kemudian Bapak S.M.H. Sirwoko menjelaskan hal-hal yang behubungan dengan Ulang Tahun yang ke 85 Romo Panutan, serta perletakan batu pertama pembangunan Makam Panutan dan Ibu, setelah itu seni Panembrama (semacam paduan suara yang di iringi gamelan Jawa) dengan mengalunkan Gending “ Tri Pusara Mudha “, Sejarah panutan di bacakan oleh Bapak Darmawasita, kemudian Kidung Mujilanggeng setelah itu pagelaran Wayang Kulit semalam Suntuk dengan lakon (judul) “ Lahirnya Bambang Gunung Rama Pran Soeh”, yang menggambarkan lahirnya Panutan (Raden Gunung), di dalam cerita Wayang Kulit Raden Gunung diganti dengan Bambang Gunung, menurut keterangan para Sepuh yang sekarang masih hidup dan pada waktu itu ikut menyaksikan pada malam keramaian tersebut, penonton memenuhi tempat tinggal Panutan dan sekitarnya.
          Pada pagi harinya Tanggal 30 September 1953, Rama Panutan/Ibu para ketua kelompok dan murid-muridnya serta anak cucu menuju kelokasi peletakan batu pertama pembangunan Astana Waja. Setelah sembahyangan Romo Panutan mengambil batu pertama yang jadilah pondasi bangunan, kemudian Panutan besemedi (berdoa dulu), kemudian dengan dibantu para sahabat di mulailah memasang batu kali tersebut. Seterusnya di lanjutkan murid-murid terdekat, kemudian pekerjaan selanjutnya di teruskan oleh para tukang batu. Perlu dimengerti bahwa Romo Panutan sampai langsung terjun mengawasi pekerjaan pembangunan, karena makam tersebut kalau di hayati secara bathin bukan tempat sembarangan. Apalagi selain makam Beliau dan Ibu Panutan juga ada Bale Suci Gedong Pran Soeh Tlaga Maharda yang telah penulis sebutkan diatas, bahwa tempat-tempat tersebut tempat semua makhluk /umat baik yang Sampurna maupun tersesat disitu (kalau di lihat dialam halus).
          Oleh karena itu Romo Panutan harus turun tangan sebab tempat tersebut memang pusaka umat manusia seluruh dunia.
          Setelah perletakan batu pertama menurut urutan acara, Romo Panutan semestinya harus memberikan kata sambutan, namun begitu melihat murid-murid yang mengikuti upacara tersebut sampai beribu-ribu jumlahnya, Romo Panutan tidak bisa bekata sepatah katapun beliau menangis terharu, padahal biasanya kalau sedang memberi wejangan murid-murid nya, semangatnya luar biasa dan sangat menyenangkan bahkan di hadapan Presiden Landraad (waktu jaman Belanda). Tidak pernah gentar apalagi keder. Romo Panutan tidak bisa bicara karena terharu , pertama Beliau terharu melihat perkembanganpara siswa menjadi beribu-ribu yang hadir apalagi kalau semua murid bisa hadir semua, menurut Survey pada waktu itu sudah jutaan orang. Kedua Romo Panutan teringat masa lalu, ketika masih kecil, Remaja,dewasa, sampai saat ini menjadi besar karena ketaatan, kesetyaan menjalankan petunjuk dari Tuhan, dan hasilnya bisa menyelamatkan umat manusia dari cengkraman angkara murka, dan terlebih-lebih manusia mempunyai metode hubungan langsung dengan Tuhan,yang selama dunia ini ada, manusia hanya percaya kepada dongeng, cerita dan katanya. Disamping Panutan teringat masa lalu yang penuh penderitaan tetapi sangat indah, karena perjuangan dan pengabdian kepada Tuhan Romo Panutan sedih melihat masa depan yang akan terjadi (sebab Panutan melihat semua yang akan terjadi ). Pada saat Pak Atmo Wiharja menghadap ( murid setya juga pengurus kelompok dari Gunung Kidul ) Romo Panutan memberi pesan kepada Pak Atmo Wiharjo : Mbesok tahun 1965 Sembahyangan Leren ndisik Yaa! maksudnya,” Nanti tahun 1965, Sembahyangan berhenti dulu yaa ! “ Pak atmo Slamat bingung tidakbisa memecahkan sabda Romo Panutan tersebut, dia dengan harap-harap cemas, baru setelah tahun 1965 mengerti ada peristiwa 30 September tersebut, anehnya bertepatan dengan hari lahirnya Romo Panutan, pada tahun itu kadang golongan dilarang berkumpul .
          Melihat Sang Guru menangis dalam waktu cukup lama, akhirnya SMH.Sirwoko mengambil alih sambutan Panutan, sekaligus mewakili keluarga, anak, cucu Romo Panutan, dalam sambutan SMH.Sirwoko atas nama Panutan menyampaikan ucapan banyak terima kasih atas kasih sayang anak/cucu, murid-murid semua yang telah bergotong Royong menyiapkan calon makam Romo Panutan/Ibu. Mendengar kata sambutan Bapak SMH.Sirwoko tersebut murid-murid dan semua yang hadir semakin terharu dan sampai mengeluarkan air mata, karena sebetulnya murid-murid merasa berhutang budi kepada Romo Panutan karena selama ini kebaikan Romo Panutan tidak sebanding atau belum terbayar dari para murid-muridnya, dan tidak akan terbayar dengan apapun kebaikan Panutan terhadap murid-muridnya. Andai kata bisa membayarpun paling bagus hanya menepati angger-angger 11 (sebelas) yang berisi  4 (empat) larangan dan 7 (tujuh) kewajiban, itupun kalau bisa, andaikata bisapun sebetulnya itu hanya untuk kebutuhan pribadi murid-muridnya bukan untuk kepentingan Romo Panutan.
          Pada sambutan selanjutnya. Darmawasitao yang mewakili para murid dan juga anak cucu mengatakan : menyampaikan ucapan terima kasih yang sangat mendalam kepada Romo Panutan, karna selama ini murid-murid yang tadinya hampir tidak mengerti jalan, dibimbing, dibela dari jalan yang gelap menuju pencerahan hidup lahir/bathin. Kemudian Darmawasito menyerahkan secara sembolis dua fulpen kepada SMH.Sirwoko dan Martasudarsono, sebagai harapan supaya segera membuat Buku pedoman tentang penghayatan Ilmu Tiga Perangkat segera di wujudkan,yang nantinya akan di tanda tangani oleh Panutan.
          Kejadian acara ulang Tahun yang ke 85 Panutan beserta pembangunan Makam (Astana Waja ) beritanya tersebar  kemana-mana, sehingga menambah semangat pengabdian murid-murid untuk membuktikan adanya ilmu Tiga Perangkat bagi mereka yang belum Katam, Namun tidak semua orang senang dengan perkembangan ajaran Ilmu Tiga Perangkat, sebab banyak yang tidak paham, tidak mengerti, tidak mau mengerti dan tidak butuh mengerti, atau mungkin kalau semua orang menjadi baik budhi pekertinya kemungkinan ada pihak-pihak yang merasa di rugikan, terbukti dengan adanya penyelidikan dan penelitian dari berbagai golongan terhadap ajaran Ilmu Tiga perangkat. Sudah barang tentu secara tidak langsung para peneliti akan mendapat pendidikan budhi pekerti , karena angger-angger 11 (sebelas) sudah cukup jelas, standar manusia hidup untuk kembali menghadap Tuhan yang seperti itu, sebab tanpa bersandar kepada angger-angger 11 (sebelas), tidak akan mungkin manusia kembali ke Tuhan. Setelah angger-angger 11 (sebelas) dipraktekan baru mencari ilmu Tiga Perangkat Yaitu : 1.Suksma utusan 2. Cahaya Tuhan 3. Wujud Nyawa kita sendiri atau disebut Hawa Nafsu kalau dalam Seni Pedalangan Dewa Ruci kita masing-masing.
          Makin hari perkembangan murid-murid (Kadang Golongan) semakin banyak sehingga Ibu Panutan kerepotan melayani tamu-tamu tersebut, banyangkan setiap tamu pasti deberi hidangan dan itu setiap hari, dengan jumlah yang cukup banyak. Panutan pernah berkata “ Aku bisa mencarake Lelakon Semene Jembare, kuwat mencarake Kesucian, kuwi Saka Kasetyane Ibumu, olehe tansa Saguhdak ajak ngermbuk anak putu ewon-ewon, seprana seprene”. Artinya “ Saya bisa mengembangakan kesucian, karena Ibumu Setya mendukung saya, Dia selalu siap diajak mengurusi anak/cucu yang ribuan jumlahnya, Selama ini “Ibu Panutan memang  orang yang berbudi luhur, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari Beliau berdagang dan sangat cermat hemat teliti menyimpan dan mengamankan hasil bumi dari Pertanian. Karena setyanya mendampingi Panutan dalam suka maupun duka di dalam di dalam seni Wayang Kulit (Gubahan SMH.Sirwoko) Ibu Panutan diganti nama : Sri Suwengsih dalam lakon Wayang Kulit Bratalaya Janji, maksud nama tersebut penjelmaan Sri yang Kasih Sayang terhadap Siwi (anak). Sebetulnya Ibu Panutan ada sikap yang aneh terhadap Romo Panutan, dia sering tidak percaya kalau suaminya (Romo Panutan) di utus oleh Tuhan menyebarkan ilmu suci (menjadi penengah semua ilmu dan keyakinan manusia yang ada di dunia), mungkin sudah kodrat barangkali. Akan tetapi Ibu Panutan cepat mengerti dan parcaya, karena semua yang di katakana Panutan sebelumnya, akhirnya terbukti cocok, dan tidak pernah meleset sedikitpun, yang akhirnya ibu tetap setya kepada Panutan.

BAB XVI AGRESI KE II 19 DESEMBER 1948 BELANDA MENYERANG NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Romo Panutan memberi pengarahan dan nasehat kepada para murid-muridnya dalam kurun waktu 40 hari ini pasti ada kejadian yang sangat gawat, kemudian disusul lagi 11 (sebelas) hari lagi akan terjadi sesuatu, dan murid-murid diperintahkan untuk mempersiapkan segala sesuatu terutama mental (bathin) harus kuat, pikiran harus jernih dan waspada, semua murid diperintahkan untuk mohon supaya bisa bertemu dengan juru selamat (utusan).
Ternyata betul terjadi para ketua kelompok di Gunung Kidul Sleman, Kedhu ditahan, termasuk Martoasanara anak mantu Romo Panutan, mereka ditahan karena fitnah. Belanda menyerang Yogyakarta (Ibu Kota Republik Indonesia) dengan kendaraan lapis baja dan pesawat-pesawat tempur dan pasukan infantri, sebentar saja Yogyakarta dikuasai penjajah. Presiden dan wakil Presiden serta para menteri ditahan dan dibuang ke Prapat (Sumetra Utara). Tentara Nasional Indonesia dibantu Laskar Rakyat bahu membahu mengadakan perlawanan dengan bergeriliya.
Romo Panutan dikabarkan sudah ditahan, bahkan ada berita kalau Panutan sudah dibunuh oleh alat pemerintah, ternyata berita itu setelah di cek oleh murid-murid adalah bohong, Panutan masih segar bugar. Beliau juga tahu kalau beberapa anak dan cucu serta sebagian muridnya ditahan oleh serdadu Belanda.
Hubungan telepon Yogya-muntilan magelang putus. Esok harinya pemerintah kabupaten Magelang mengadakan Rapat dihadiri seluruh Pamong Praja Kawedanan Muntilan, bertempat dikantor kewadanan juga hadir asisten  wedana, tidak ketinggalan Romo Panutan karena beliau menjabat Carik Desa Jagalan. Semua peserta rapat tidakada yang tahu situasi di Ibukota Yogyakarta, seba hubungan telepon putus, yang tahu situasi dunia hanya Romo Panutan, oleh karena itu sebelum rapat dimulai Romo Panutan berkomentar : “ Punika rapat badhe ngrembak punnapo, kula nnyaosi priksa, ngayogya sampun dipun broki walandi, Bung Karno lan Bung Hatta sampun kebekta, kula badhe ngungsi, mangke siang walandi bade mriki, mangga kemawon menawi badhe nglajengaken konprensi !” Panutan langsung pulang.
Konfrensi dibubarkan sebab semua sudah menyaksikan berkali-kali , beberapa kejadian yang dialami di daerah tersebut ,sebelumnya Romo Rps Sastrosuwigyo, selalu memberi peringatan dan selalu tidak pernah meleset, bahwa akan terjadi   musibah. Romo Panutan sekalipun sudah tahu apa yang akan terjadi, beliau beserta keluarga tetap mengungsi sebab, untuk menjaga hal-hal yang bisa menimbulkan kecurigaan macam-macam terutama dari pemuda-pemuda Pejuang dan alat-alat kekuasaan Negara, beliau memilih membaur dengan rakyat di pegunungan di lereng Merapi. Panutan mengungsi di desa KERON di rumah Bapak Mulyarejo (murid yang setya). Pada waktu berangkat kepengungsian berjalan kaki Panutan memakai celana pendek (gembyong) baju tak berlengan warna hitam ikat kepala(destar) model maduran, Panutan juga membawa layangan bapangan yang sangat besar di gendong di belakang, orang-orang tetangga dan orang-orang yang berpapasan dengan beliau pada heran melihat perilaku panutan yang sangat aneh tersebut. Ditengah perjalanan bertemu dengan para serdadu Belanda di tengah sawah, sudah tidak bisa menghindar karena yang dilewati hanya jalan setapak, serdadu Belanda tadi hanya tersenyum tidak ada yang bertanya kepada Panutan. Daerah Muntilan langsung terjadi pertempuran antara Belanda dan TNI(di bantu para pejuang). Desa Keron mengalami kerusakan karena kena sasaran peluru meriam Belanda yang tidak terhitung. Rumah Bapak Mulyorejo bersebelahan dengan saudara kandungnya(beragama Katolik). Rumah saudara kandungnya kena sasaran peluru Belanda dan di acak-acak/dirusak oleh serdadu Belanda, sedangkan rumahBapak Mulyarejo yang di dalamnya ada Romo Panutan sekeluarga aman-aman saja, lain halnya dengan murid-murid yang disitu, karena melihat serdadu Belanda yang terkenal bengis semua merasa ketakutan dan gemetar. Panutan lalu menghibur murid-muridnya “Aja ndredheg, aku ora weruh, kiraku rak kana ora weruh kene/aku.” Artinya : “jangan takut  jangan gemetar, sepertinya mereka tidak melihat kita sebab saya juga tidak melihat mereka”. Para serdadu Belanda tadi tidak masuk rumah Bapak Mulyorejo mereka terus pergi. Pada waktu itu, NYI MARTAASMARA sedang hamil tua(dulu bernama Rr.Wening). Supaya keluarga tenang /tenteram, Panutan dan keluarga pindah ke desa Bandung Paten(lereng Gunung Merapi sisi barat laut) di rumah Bapak Ali termasuk murid setya. Ditempat pengungsian di lereng gunung Merapi tersebut banyak murid-murid yang sering menghadap Panutan, disaat itu mereka mendapat gemblengan ilmu kebatinan dari Panutan, kebanyakan murid-murid yang datang dari desa-desa, Tlatar, Kragawanan, Sawangan, Sewukan, Srumbung, dan wilayah sekitarnya. Panutan juga membantu alat Pemerintah yang sedang bahu-membahu mengusir angkara murka(Penjajah) dimana Belanda berada,  Panutan selalu memantau dan membantu para Pejuang dengan cara Romo Panutan sendiri (yang manusia umum tidak paham, kecuali murid-murid yang setya yang mengetahui).
           Bapak S.M.H.Sirwoko dan Bapak Darmowasito dua orang sahabat Panutan yang terpercaya, mencari Panutan dengan berjalan kaki sambil menghindari blokade Belanda, dari Gunung Kidul menuju lereng Merapi +- 100 km, itupun sambil sembunyi, dengan mengenyampingkan keselamatan sendiri, juga meninggalkan keluarga, mereka berdua berusaha keras mencari Sang Guru Agung (Panutan) sudah barang tentu mereka berjalan berdasarkan petunjuk, sebab kedua orang tersebut bukan orang sembarangan (setya dan bersih). Akhirnya bisa bertemu di desa Bandung Paten, Panutan setelah melihat kedua sahabat tadi langsung menangis, sampai lama Beliau tidak bisa berbicara karena sangat terharu melihat kesetyaan kedua murid tersebut. Semua yang hadir turut menangis. Bapak  Ali menghibur Panutan,supaya berhenti menangis dan pergi ke Sendang (air mancur) untuk membersihkan muka, supaya segar badannya. Barulah Panutan mulai memberikan wejangan-wejangan meskipun suaranya masih terputus-putus karena belum bisa menghilangkan rasa harunya.Bapak  SMH.Sirwoko sudah puas, dan hilang rasa rindu kepada Panutan, terus meninggalkan Bandung Paten maklum Beliau seorang Pejuang pasti bergabung ke induk Pasukannya.
          Romo Panutan mendapat petunjuk dari Tuhan, bahwa setiap Beliau timbul di dunia selalu diikuti pengikut tadi oleh karena itu, Beliau menggambarkan dalam seni pedalangan kedua murid tadi yang satu digambarkan sebagai “ Burung Manyar Putih Bersih “ yang disebut “ Manyar Seta “ yang satunya Harimau Putih “ yang satu sebelah mata kirinya buta “, yang diberi nama “ Ditya Ganggaskara”.
          Panutan di seni Wayang Kulit disebut dengan “Resi Brotonirmoyo” Seorang Pendhito Sangat waskita dari “Sonya Gumuruh”. Belanda akhirnya di tarik dari kota-kota besar di Indonesia (Hasil Konfrensi Meja Bundar), Panutan mengarang Gending, Lompong Keli dengan musik tambahan Angklung, Kemudian Panutan mengarang Gending berupa Tembang yaitu Tembang Dandang Gula, yang kata-katanya seperti dibawah ini:
Kemanisen Denira Mres Budi
Budidaya Supaya Kinarya
Karya Penglipur Brantane
Branta Ingkang Mamreskung
Ruming Kongas Pujo-pinuji
Puji Kang Paripurna
Nyirnaken Sekayun   
Kayun kang kautaman
Utamane marengga Sesami-sami
Sesamining Ngagesanga
Tembang yang singkat tadi yang menciptakan Guru Agung, Romo Panutan bukan ukuran (kemampuan) penulis untuk menafsirkannya itu Sastro dalam, bahasa Jawa yang jarang beredar di masyarakat, pada masa itu pun ungkapan tersebut tidak pernah keluar, antara baris satu dan baris di bawahnya saling berhubungan berbeda tembang yang penulis muat di sini, bahasa yang penulis pakai bahasa pasaran setiap orang jawa baik anak-anak maupun orang dewasa sangat paham. Akan tetapi penulis harus bertanggung jawab sebisa mungkin, meskipun tidak semua kata dalam tembang tersebut terjangkau mohon maaf atas kekurangan penulis : Kurang lebih artinya begini “ Sudah berusaha semaksimal (sebaik-baiknya/habis-habisan) Kita menghibur rasa rindu yang desertai kesedihan yang mendalam. Dalam hati selalu berdoa, Semoga cepat berakhir, membasmi angkara murka, kalau angkara murka lenyap, akan menuju ketentraman dan kedamaiaan sesama hidup”
Setelah tembang tersebut dipentaskan dengan gamelan tidak lama kemudian Bung Karno dan Bung Hatta (Presiden dan Wakil Presiden) debebaskan dari tahanan Belanda. Setelah Panutan mendapatkan sahabat dua yang tadi disebut di pedalangan. Manyar Seta dan Ditya Ganggaskara, Panutan mendapat murid baru Indo-Tionghoa namanya Ong Sioe Gien namanya. Ong Sioe Gien hobi berguru kebatinan, ilmu kebatinan apa saja banyak di pelajari sudah barang tentu guru-gurunya pun banyak, akan tetapi ujung-ujungnya tidak pernah puas, sebab ilmu tersebut rata-rata tidak ada standar yang baku juga tidak jelas, kebanyakan tidak bisa membuktikan kebenarannya selain itu daya gunanya sifatnya hanya sementara hanya berisi hafalan-hafalan yang muluk-muluk kalau ditafsir juga sulit di mengerti (jadi yang tahu isinya si pencipta lafal tersebut) orang lain pasti bingung karena susunannya di samping bahasa-bahasa dulu juga di bolak-balik. Supaya yang belajar banyak bertanya (tidak jelas), belajar ilmu kebatinan lulus dan tidaknya tergantung guru itu sendiri yang menentukan. Oleh karena itu Ong Sioe Gien merasa heran karena teman seperguruannya yang termasuk sudah senior dan ilmunya sudah termasuk jauh di atasnya tiba-tiba berubah haluan ikut menjadi anggota kadang golongan (O.M.M). Memang sudah dasarnya panggilan Ong Sioe Gien tidak lama mempelajari ilmu tiga perangkat langsung katam, beberapa kali dicoba (di test) oleh Panutan, Ong Sioe Gien cepat mengerti dan bisa membuktikan, kemudian diberi “Dunungan” dunungan atau penjelasan, adalah ilmu terakhir yang diberikan kepada setiap murid yang telah dinyatakan lulus dalam membuktikian adanya ilmu tiga perangkat, ilmu tiga perangkat tidak main-main daya gunanya, karena orang yang belajar ilmu tersebut, gurunya bukan manusia, jadi mereka berguru langsung kepada utusan Tuhan lewat alam gaib/Sasmita maya/alam mimpi juga di sebut alam Pasupenan, mereka di bimbing oleh seorang penyuluh yang didampingi dua atau tiga penyuluh yang lain, untuk menjaga kemurnian ilmu tiga perangkat tersebut. Sedangkan seorang yang disebut Penyuluh harus mempunyai Wahyu Penyuluh, sebab belum tentu seorang yang sudah Katam, menyebut dirinya sendiri sebagai Penyuluh sebelum mendapatkan petunjuk dari Tuhan, bahwa dirinya memang ada Wahyu Penyuluh, itupun harus di cek oleh Penyuluh yang lain (di mohon apa betul dia mendapat tugas sebagai Penyuluh), sebab dampaknya akan merugikan yang dibimbing kalau dia tidak mendapatkan tugas sebagai Penyuluh,akan tetapi memaksakan diri. Apalagi amalan ilmu ini tidak boleh sama sekali tidak boleh ditulis, untuk menghafalpun harus di hafal di tempat yang sepi, tidak boleh dihafalkan di dalam rumah atau di bawah pohon (pendek kata harus di alam terbuka tidak boleh terhalang apapun di atas kepala kita. Masih ada syarat yang baku: Seorang Pria, yang membimbing harus pria juga, begitu pula juga sebaliknya seorang wanita selalu dibimbing seorang wanita, kecuali suami istri, atau anak dengan orang tuanya boleh membimbing, saudara kandung seibu dan satu ayah juga boleh. Mertua/saudara ipar/Paman/Tante tidak boleh membimbing kecuali berjenis kelamin sama.
          Peraturan itu menjadi pedoman umat manusia sebagai upaya untuk membendung pengaruh nafsu/syetan yang konon kabarnya syetan itu, lubang jarum jahit pakaian manusia bisa masuk, karena saking lembutnya. Sejak Ong Sioe Gien Katam warga Tiong hoa, berduyun-duyun menghadap Panutan untuk belajar Marifat Romo Panutan memberi Petunjuk kepada murid Tiong Hoa tersebut : “ Padha golekana Sukmane Nabi Kong hucu, yen wis ketemu, tandingan kato aku, dedege lan jenggote pisan kocek piro? “ artinya begini :” Kamu semua mencari suksmanya Kanjeng Nabi Kong Hu cu, kalau sudah ketemu coba kamu bandingkan dengan saya bedanya,tingginya, selisih jumlah jenggotnya berapa?” 
          Setelah banyak yang menyaksiakan bahwa sebetulnya Nabi Kong Hu Cu adalah Romo Rps Sastrosuwignyo, mereka  rata-rata mempunyai kesetyaan yang luar biasa. Muri-murid Tiong Hoa sering menghadap Panutan, Kalau mempunyai keperluan apa saja, mohon restu dan mohon Panutan berkenan hadir. Pada suatu hari Ong Sioe Gien mempunyai hajatan khitanan (Sunat ajaran Islam), beberapa anak secara bersamaan disunat. Kyai-kyai bekas gurunya dan para Kyai temen Ong Sioe Gien juga di undang untuk memberi berkah lebih-lebih Panutan paling utama yang di undang. Panutan hadir karena tidak mau membuat kecewa siapapun.
          Sebelum sunatan di mulai orang tua anak-anak tersebut minta anak-anaknya sungkem (seperti menyembah ala kerajaan) yaitu mencium kaki/lutut Kyai-kyai tersebut,satu dua Kyai sudah dicium kakinya oleh anak-anak yang akan di sunat tersebut, begitu giliran Romo Panutan akan di cium kakinya, Panutan tidak mau (menolak di cium kakinya), lalu beliau bilang “ Yenngabekti lan nyembah kuwi,marang Gusti Allah bae,aja marang aku,awit aku dhewe manungsa lumrah, kang kasinungan : apes, badho, sengkeng sarta lalilan aku dhewe manembah mareng Gusti Allah”, artinya “ Berbakti dan Menyembah itu kepada Gusti Allah saja, jangan kepada saya, sebab Saya ini hanya manusia biasa, yang banyak mempunyai kelemahan, misalnya, bisa kena musibah, bodoh, lemah, pelupa, dan Saya sendiri juga menyembah Kepada Tuhan”, Para tamu mendengar ucapan Panutan semua heran, lebih-lebih anak-anak semua bingung dan berhenti sungkem (menyembah),  yang mengherankan semua tamu yang ada seperti kena perbawa dari perkataan Panutan tadi, dan menghadap kearah Panutan. Pada malam berikutnya diadakan pagelaran Wayang kulit semalam suntuk dengan dalang dari Kadang golongan yaitu Joyowiyoto (Joyo Kandar) Dari desa Tingal. Borobudur, dengan judul lakon “Pandawa Racut” hasil gubahan Panutan sendiri. Tamu banyak bangsawan/Pejabat Pemerintah dan para ahli Pedhalangan. Panutan juga hadir menonton pagelaran tersebut di damping para murid terdekat,Darmowasito sebagai pemandu pagelaran tersebut, memberikan penjelasan jalan cerita lakon tersebut, yang memang berbeda dengan lakon (judul) yang biasa dipentaskan oleh dalang-dalang umum. Yang menjadi pebedaan yang sangat kontras adalah, Ketika Werkudara (Bima) Racut  (Sukma pisah dengan Nyawa), Dewa Ruci yang wujudnya Werkudara (Bima) kecil,di anggap musuh. Untuk  pemahaman umum Dewa Ruci yang wujudnya menyerupai Werkudara (Bima) tadi adalah Tuhan dari Werkudara, jelasnya Dewa Ruci Tuhan dari semua umat Manusia, (Pengertian semua pecinta Wayang Kulit dan ahli Pedalangan), padahal wujudnya menyerupai diri kita sendiri tetapi disitu di gambarkan lebih kecil (Dewa Ruci =Bima tapi Kecil).
          Dalam hal ini Darmawasita memberi penjelasan kepada penonton, penjelasan Darmawasita tadi 100% betul meskipun masyarakat umum mungkin belum bisa menerimanya sepenuhnya, dan sampai sekarang dalang-dalang umum juga tetap memakai pakem yang salah tadi, akan tetapi tidak mengapa sebab itu hanya besifat seni, semua tidak akan memaksakan kehendak, semua berjalan aman dan nyaman sampai sekarang. Darmawasita melanjutkan penjelasan pada pagelaran wayang Kulit dengan judul Pandawa Racut “ (Racut artinya Nyawa berpisah dengan Sukma) “.
          Dewa Ruci yang dianggap Tuhan dari Werkudara tadi salah, wujudnya memang Werkudara Fisiknya lebih kecil dari Werkudara semuanya sama, pakaiaan, penampilan hanya sikap perilaku memang berbeda. Dewa Ruci tadi sebelumnya berwujud Naga Tasik yang berhasil di dibunuh oleh Werkudara, musuh tetap musuh, sekalipun Naga Tasik sudah berubah menjadi Dewa Ruci, dia tetap musuhnya Werkudara, kenapa Naga Tasik berubah menjadi Dewa Ruci ? Itulah puncak dari kekalahan total dari musuh Werkudara dia memperlihatkan wujud aslinya meskipun postur tubuhnya lebih kecil, tapi sempurna. Kalau Dewa Ruci di anggap Tuhan itu pemahaman yang terbalik, masa Dewa Ruci yang tadinya berupa ular Raksasa (Naga Tasik) musuh Werkudara di anggap Tuhan.  Kalau Tuhan itu sifatnya kasih sayang,sejuk,melindungi,dan tidak menimbulkan marah. Lagi Penulis membaca contoh : Pantadewa kakak dari Werkudara (Jenis Kelamin Pria). Bertemu Pantadewa kecil  itu Dianggap Tuhan, logikanya Tuhan ada dua, yang satu Dewa Ruci kecil, yang satunya lagi Pantadewa kecil, lalu Harjuna (adik dari Werkudara ) pasti mempunyai Harjuna kecil, jadi Tuhan sudah ada tiga, ketiganya laki (Pria semua). Dewi Kunti ibu para Pandawa (Wanita) Srikandi istri Harjuna, bertemu masing-masing Dewi Kunti kecil dan Srikandi kecil, keduanya dianggap Tuhannya Dewi Kunti dan Tuhannya Srikandi. Total Tuhan sudah ada lima , tiga pria dan dua Wanita, Bagaimana dengan penduduk dunia yang sekarang sudah mencapai lima Milyar? Apakah Tuhan juga berjumlah lima Milyar terdiri dari laki-laki dan Perempuan ? hanya murid-murid Kadang golongan yang paham dengan kenyataan tersebut, meskipun mungkin sulit untuk merubah pemahaman tersebut, penulis berharap umat manusia untuk menyadari kekeliruaanya, sayang kepada siapapun yang pernah bertemu dengan Saudara kembar kita lalu disebut Sang Guru Sejati apalagi sering dimintai tolong untuk kepentingan dunia, setiap hari kita minta tolong, kita berhutang kepaada Saudara kembar kita, kalau kita mati pasti bergantian kita yang melayani dia (menjadi budak dia) karena memang kita berhutang banyak dengan dia dan kita tidak/belum mampu membayarnya. Kita bisa membayar lunas hutang kita kalau bertemu Pertama Utusan, Kedua Cahaya Tuhan, artinya hutang kita lunas, dan membayar dilakukan sewaktu masih hidup, sebab kalau sudah mati, sudah tidak ingat kalau mempunyai hutang, mudah-mudahan dengan penjelasan yang sederhana ini pembaca berkenan untuk merubah pandangan yang keliru, Penulis kurang paham mungkinkah di benua Amerika,Di Benua Eropa, di benua Afrika,di benua Australia, juga di Negara-negara Asia ada yang mempelajari tentang mimpi ? andaikata ada pernahkah pembaca bermimpi melihat dirinya sendiri ? bukan di cermin lho ! Kalau memang ada, pernah bermimpi seperti itu, bilamana ingin memperdalam dan ingin mempelajari kehidupan setelah mati, anda silahkan kontak lewat  Email, mungkin Penulis bisa membantu, kalau pembaca berminat, sebab mimpi melihat diri sendiri, addalah ada harapan mengenal Tuhan. Ingat Tuhan hanya satu .
          Kita kembali ke pentas wayang Kulit diatas, Romo Panutan memberi petunjuk kepada para murid dalam pagelaran Wayang Kulit Yang telah dibeberkan pada tulisan diatas memang berbeda penafsiran, dalam judul wayang Kulit sama, akan tetapi karena khusus dalam ajaran ilmu tiga Perangkat disatukan dengan kenyataan di alam bathin. Pada waktu itu masih dalam suasana di alam Penjajahan. Romo Panutan memberi petunjuk supaya musik pengiring ada dua macam yang biasa perangkat gamelan, yang kedua musik (Jass Band). Sehabis tengah malam (gara-gara) istirahat sebentar untuk makan bersama, sehabis makan bersama Pagelaran Wayang Kulit baru boleh dimulai lagi. Karena ini merupakan petunjuk dari Panutan, (murid-murid semua berfikir, pasti ada peristiwa penting yang akan terjadi) sebab biasanya wayang Kulit tidak memakai musik (Barat) apalagi tengah malam harus makan bersama, sebab kebiasaan makan malam dilarang untuk murid-murid (kadang golongan). Ternyata benar antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda ada perdamaian K.M.B ( Konfrensi Meja Bundar) di Nederland.
          Selanjutnya ada petunjuk dari Panutan kalau ada pertunjukan Wayang Kulit harus ada gending “ Emplek-Emplek Ketepu”. Kemudian dalam lakon tersebut, keluarlah sahabat-sahabat Panutan di dalam cerita Wayang Kulit yang bernama : Bratararas, Bratanirloko, dan Bratatriloko, ketiganya sahabat dari Resi Bratanirmaya (sebutan Panutan dalam pedalangan Wayang Kulit). Kemudian di sambung geding,” Re,Re,RE, Nandur Pare,marambat ngetan parane” artinya “ Menanam tanaman pare,menjalar kearah Timur”, ada salah satu murid yang memanjakan gending tersebut apa maknanya. Panutan member penjelasan: “ Pare kuwi Uwite, godonge, kembang Lan uwohe, pahit kabeh, diolah apa bae, Rasaneuga ajeg pait,sudaa mung sethi-thik, ewo semono ana kang karem,sing ngati-ati pada golekano,juru slamet” artinya : “ Buah pare,pohon (batangnya), daunnya,bunga dan buahnya, rasanya pahit semua, sekalipun di masak dengan bumbu apapun rasanya tetap pahit bisa berkurang rasa pahitnya, tetapi berkurang sedikit anehnya, banyak yang suka, hati-hati murid-murid harus mencari juru selamat , akan menjalar kearah timur”
          Tidak lama terjadi pemberontakan Batalion 426 Munawar (Darul Islam ), yang timbul di jawa tengah, yang akhirnya bisa di tumpas oleh TNI. Romo Panutan selalu menguji kemampuan Ma’Rifat murid-muridnya beliau selalu memberi petunjuk dengan cara yang halus kalau di kupas dengan cara nalar (otak) tidak mungkin bisa, oleh karena itu murid-muridnya dengan cara mohon dan mendapat jawaban di alam mimpi, begitu pula dengan Riwayat batang pare tadi, sesubur apapun tanaman pare tidak akan memenuhi tanaman rumah, lagi pula umurnya hanya beberapa bulan terus mati.

BAB XV KADANG GOLONGAN DALAM TURUT SERTA MENGISI KEMERDEKAAN SETELAH PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945

Jepang akhirnya bertekuk lutut setelah di bom sekutu/AS Cs. Kadang golongan menyambut alam kemerdekaan dengan sangat antusias, Indonesia menjadi negara merdeka bebas dari penindasan bangsa asing, 350 tahun oleh kolonial Belanda dan Jepang 3,5 tahun oleh Jepang. Bahkan Inggris pada abat 17 juga pernah menjajah Indonesia, Itu hasil doa para Kadang golongan dan mendapat restu dari Romo Rps Sastrosuwignyo penjajah Jepang 3,5 tahun hampir memusnahkan Bangsa Indonesia, ada keuntungan bagi para pemuda yang pada waktu itu ikut pendidikan militer yang sangat keras dankejam membangkitkan Patriotisme yang luar biasa, itulah ciri khas Indonesia, semakin ditekan Dia akan semakin keras jiwanya. Para pemuda yang terkabung dalam pengayoman OMM tidak mau gegabah mereka mau bertindak berdasarkan petunjuk dari Romo Panutan, Beliau memberi pengarahan, ini saatnya bersiap diri untuk perangmelawan napsu/angkara napsu murka didunia. Beliau mengetahui apa yang akan terjadi setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, para Pemuda telah siap menghadapi segala kemungkinan untuk mempertahankan kemerdekaan, berbagai upaya sesuai dengan kemampuan pemuda-pemuda tersebut.
Benar saja sehabis proklamasi terntara sekutu masuk malalui Pelabuhan Tanjung Perak, Perang pecah di Surabaya, Rakyat Indonesia yang sudah mempunyai pengalaman pahit selalu ditindas oleh Bangsa Asing, bangkit serentak melawan pasukan sekutu, yang ternyata Pasukan Belanda juga turut membonceng di belakang untuk mengulangi lagi untuk menjajah Indonesia.
Dengan persenjataan apa adanya, terutama bambu runcing para pemuda melawan penjajahan yang bersenjatakan kendaraan lapis baja dan meriam, hampir 40.000 tentara rakyatgugur pada pertempuran 10 November  tersebut. Disamping pemuda-pemuda pria dan wanita bertempur, orang-orang tua digaris belakang berdoa kepada Tuhan untuk keselamatan Bangsa Indonesia. Di Jogyakarta bertempat Ambarukma  di bentuk asrama kyai-kyai dan para ahli kebatinan selama 21 hari mereka tugasnya tirakat
(puasa) untuk memohon keselamatan Republik Indonesia yang baru lahir itu. Kadang golongan mengirim beberapa orang untuk turut bergabung dalam asrama kyai-kyai tersebut antara lain:
1.    Martasuwita.
2.    Suryaningrat (Bupati Gunung Kidul) .
3.    Pujosuwito.
4.    Martaradana
5.    Harja Sanjaya.
Kemudian para pemuda dibekali syarat untuk maju di medan laga antara lain JANUR KUNING, untuk ikat kepala, supaya dalam pertempuran mendapat kemenangan dan selamat, disitulah para pemuda keberaniannya timbul tidak pernah takut menghadapi musuh dalam peperangan. Dalam KNI (Komite Nasional Indonesia) OMM turut aktif didalamnya. Romo Panutan semakin sibuk melayani pemuda-pemuda yang akan terjun di medan perang, mereka minta bekal supaya mendapatkan kemenangan. Kemudian para tokoh yang turut asrama kyai-kyai di Ambarukma, memberikan pegangan (Piyandel Jawa) berupa Cemeti (Ceten) untuk bekal bekal di medan perang ternyata pemuda-pemuda yang membawa syarat CEMETI dimana-mana sukses dalam pertempuran, biarpun mereka di bombardir dengan meriam/senjata berat mereka bersorak sorai menyambut dengann keberanian yang luar biasa dan aneh ajaib mereka tidak ada cidera.
Pembaca yang budiman , disini penulis sengaja memaparkan isi sejarah bukan mengada-ada, sebab disitu kadang golongan sangat aktif didalam kancah perjuangan, sebab di dalam angger-angger (11) bagian kedua tertulis 7 kewajiban, pada No. 2 yang isinya bela negara. Jadi harus bertanggung jawab apapun akibatnya. Pada waktu kota Magelang (dekat kota Muntilan) diduduki tentara Sekutu (Gurkha), para pejabat pemerintahan tokoh-tokoh pejuang menghadap Romo Rps Sastrosuwignyo, supaya beliau dengan cara apapun supaya pasukan Gurkha tadi pergi dari kota Magelang dan sekitarnya (Gurkha sangat kejam). Romo Panutan bersedia namun beliau minta diantar ke alun-alun Magelang. Pada waktu itu tidak ada mobil sehingga Romo Panutan naik delman (dokar yang ditarik kuda). Romo Panutan berdua dengan WEDANA Muntilan namanya Bapak Budiman sekaligus sebagai Sais (Kusir dokar) diperjalanan petugas keamanan tidak mengijinkanRomo Panutan untuk menuju kota Magelang, karena pertempuran sedang berkecamuk dengan sengit, terutama di kotaAmbarama dikepung oleh para pejuang dari empat penjuru, bunyi meriam dan tembakan sangat jelas terdengan dari selatan kota Magelang, Romo Panutan meyakinkan kepada petugas keamanan dari para pejuang, bahwa tidak perlu kwatir dengan keselamatan beliau, akhirnya Romo Panutan sampai di alun-alunMagelang. Romo Panutan sesampai di Alun-alun langsung turun dari dokar menuju ketengah alun-alun, beliau membuang tumbal (syarat) dan mengeluarkan kesaktiannya seperti waktu bertempur melawan Ratu Kidul , ketika beliau masih bernama Raden Gunung. Setelah itu langit mendadak gelap gulita hujan angin, kilat, petir bersautan seperti akan menyapu kota Magelang dan sekitarnya, yang akhirnya pasukan Gurkha  karena ketakutan dengan kejadian alam yang mendadaktersebut, panik dan mundur ke utara, ke kota Semarang. Romo Panutan terus kembali ke Muntilan para murid dan para pejuang menanyakan apa yang terjadi di Magelang?, Romo Panutan memberikan jawaban dengan senyum dan rendah hari dan Beliau berkata, “ Dudu, aku , kang bisangundur ake Gurkasaka Magelang, koe lho, bocah-bocah enom, gagah-gagah isih semengit, kendel, lan banter-banter nduwe prabawa, nekakake udan, bledheg, gurka banjur miris, wusana mundur “. Yang artinya : Bukan saya yang mengalahkan sampai gurkha mundur dari Magelang, itu loh, anak-anak muda gagah berjiwa patriot dan pemberani, c ekatan dan gesit-gesit yang sangat berwibawa, dan bisa mendatangkan hujan, guntur, gurkha sangat takut dan akhirnya mundur”.
Padahal itu ilmu yang digunakan Romo Panutan dalam posisi terjepit dan terpaksa yang sangat jarang digunakan kalau tidak sangat genting.
Untuk murid-murid yang sudah katam semua juga di beri ilmu tersebut dan boleh digunakan pada saat-saat tertentu saja. Pada masa-masa perang tersebut anak Romo Panutan ada dua orang yang menjadi pejuang turut terjun dimedan laga, dan sudah pasti mendapatkan ilmu dan pegangan dari ayahnya ( Romo Panutan), oleh karenanya mereka berdua dalam keadaan tercepit musuh. Sekalipun mereka tetap bisa lolos dan selamat.
Setelah lepas dari penjajahan, OMM sudah mulai mengadakan rapat-rapat,  pertemuan-pertemuan. Padahal semenjak Jepang dan sekutu, praktis tidak diadakan pertemuan-pertemuan, hari-hari besar Rebo Paing/ hari lahirnya Romo Panutan, Jum’at Pon (Wahyu Sejatining Putri) dan jumat Kliwon (turunnya wahyu Sejatining Kakung dan Wahyu Roh Suci juga Wahyu utusan) mulai diperingati. Romo Panutan berkenan mengunjungi daerah-daerah seperti Temanggung (Sleman), Tempel, Godheyan dan Gunung Kidul. Pada waktu itu Gunung Kidul menjalar wabah penyakit pes, sudah ribuan nyawa manusia yang melayang akibat wabah tersebut. Padahal  110 hari sebelum kejadian wabah tersebut, Romo Panutan sudah berpesan bahwa “Gunung Kidul, Katon Petengdhedhet, supaya padha nggoleki juru slamet, yen ora bisa kepethuk mesthi bilahi”. Yang artinya : Gunung Kidul terlihat gelap gulita supaya mencari juru selamat, kalau tidak bisa bertemu pasti kena dan mati. Satu, dua orang ada yang tidak siap (tidak berusaha) akhirnya kena wabah dan tewas. Lainnya yang setya banyak berdoa dan menjalani  puasa akan selamat apabila bisa bertemu dengan juru selamat (utusan Tuhan). Banyak juga kadang golongan yang terserang penyakit tersebut. Romo Panutan turun tangan memberi penangkalnya sehingga terselamatkan. Romo Panutan memerintahkan murid-muridnya supaya memasak kulit kerbau, yang kerbau tadi mati karena sudah tua, kulit kerbau tersebut dimasak lalu dimakan disamping itu Panutan memrintahkan kepada murid-muridnya supaya menanam pohon puring di depan pintu, kedua syarat tersebut untuk mengusir wabah tersebut.
Dengan kejadian tersebut kadang golongan semakin setya kepada Romo Panutan, karena banyak di selamatkan bahwa warga umum yang tadinya kukan (tidak percaya) dengan kelompok OMM, mulai tertarik dan berduyun-duyun ikut mendaftar dan belajar mencari ilmu 3 perangkat, kecuali yang tidak terpanggil memang bukan muridnya Nabi Nuh dulu.
Setiap pertemuan (serasehan) kadang golongan selalu membahas kejadian-kejadian yang akan datang, misalnya di Desa A akan terserang wabah. Si B yang sakit akan meninggal, si C akan bisa sembuh dan banyak kejadian-kejadian sebelumnya terjadi sudah mendapat petunjuk dari utusan Tuhan, sehingga mereka lebih berhati-hati dalam bertindak supaya mereka tetap dekat dengan Tuhan. Pendidikan budi luhur memang sangat penting, sebab sekarang mereka mengetahui betul  daya guna dari ilmu tiga perangkat untuk kehidupan sehari-hari, manusia akan aman dari segala bentuk kesulitan hidup apabila selalu berbuat sesuai aturan Tuhan yaitu yang dilarang, jangan dilanggar yang wajib harus dilaksanakan, kalau kita melakukan pelanggaran, wahyu Sejatining Putri atau Wahyu Sejatining Kakung langsung menguasai hidup kita, jangan sampai ada kata-kata, “kita baru di hukum Tuhan”, itu ungkapan yang salah, Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang artinya tidak pernah menghukum umatnya. Kita mendapat kecelakaan, mendapat musibah, ekonomi kita hancur karena dikuasai Ratu dan Raja Hawa Napsu. Artinya kita jauh dari Tuhan, karena pelanggaran larangan tadi.
Oleh karena itu kalau kita ingin aman, tentram, sehat lahir batin, jangan melanggar larangann tersebut. Memang banyak orang yang selamanya hidupnya melakukan tindakan yang kurang baik tetapi hidupnya enak, berkecukupan, mewah, berkuasa, apa yang menjadi cita-citanya dengan mudah tercapai, itu betul sekali, penulis juga menyaksikan setiap hari, di kiri kanan tetangga penulis hampir rata-rata begitu, hanya saja prinsip hidupnya memang berbeda, mereka hanya berpikir hidup di dunia ini, untuk bekal mati mereka tidak membutuhkan atau memang mereka tidak paham untuk apa hidup ini, atau mungkin punya pemikiran “Kalau sudah mati siapa yang tahu, kan kita sudah tidak merasakan, kita sudah tidak ingat”, dan sebagainya. Oleh karena itu tidak sembarang orang berminat dengan ilmu ini, kalau mendapat panggilan dari Tuhan.
Sebelumnya Penulis pernah menjelaskan meskipun sedikit, Tuhan tidak memanggil orang yang banyak hafalan (pandai), tidak butuh orang yang berpenampilan seolah-olah orang bersih (suci), tidak memerlukan orang yang pandai bicara (fasih) bahasa tertentu, pandai bercerita tentang  alam nanti setelah kita mati, contohnya kakak dari  Bapak Pujosuwito yang kehilangan daya ingatnya waktu akan meninggal dunia, padahal waktu itu hidup tokoh yang sangat sentral untuk lingkungannya. Penulis hanya mengingatkan, kalau pembaca kurang setuju dengan pendapat penulis, mohon jangan dijadikan untuk pedoman hidup, sebab yang penulis maksud khusus yang memang Tunggal kalau bukan pasti tidak akan tertarik.
Kita kembali ke situasi Gunung Kidul yang kena wabah penyakit PES, yang sangat menakutkan, bayangkan pada waktu itu siapapun yang merasa kondisi badannya merasa tidak enak demam pagi hari sore harinya pasti meninggal dan cepat sekali menular. Pernah terjadi tetangga penulis, termasuk orang kaya, keluarganya ada yang meninggal (anaknya), dia langsung ketakutan karenawabah memang cepat menular, dia meminta tolong ayah penulis untuk menjaga rumah ( dan harta bendanya) dan ayah mendapat imbalan tidak seberapa banyaknya, ayah penulis menyanggupi dan keluarga penulis pindah ke rumah tetangga tersebut, yang disitu bisa terjangkit penyakit wabah Pes tadi. Ayah Penulis salah satu murid Romo Rps Sastrosuwignyo yang sebelumnya mohon dulu petunjuk kepada Tuhan boleh tidak menjaga rumah tangga tersebut, jawaban petunjuk “ya” alias boleh, ternyata keluarga kami selamat semua sampai wabah Pes dinyatakan terbasmi, itu contoh kejadian yang sangat riskan untuk keluarga kami pada waktu itu.
Seorang yang nantinya akan menjadi murid Romo Panutan tertariknya dengan cerita-cerita tetangga tentang tersebarnya
Ilmu 3 perangkat, orang tersebut bernama DARMAWASITA, dengan cepat dia paham tujuan ilmu ini dengan dibimbing Martasuwita yang telah banyak pengalaman membimbing kadang golongan yang belajar ilmu 3 perangkat, karena Darmawasito memang sangat tekun dan disiplin disertai tekad luar biasa, untuk beberapa hari saja Darmawasita sudah lulus (katam) ilmu tiga perangkat selanjutnya Darmawasito sanggup membela dan menyebarkan berkembangan ilmu 3 perangkat, bukan itu saja Darmawasito disamping sangat bersih lahir bathinnya juga mempunyai kemampuan sebagai penulis yang sangat baik karya-karyanya berupa ajaran-ajaran dari Romo Panutan yang ditulis berupa tembang pernah dicetak dan dapat dipergunakan sebagai Pedoman penghayatan Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat. Darmawasita memang mendapat tugas dari Romo Panutan untuk menulis sejarah berdirinya penghayatan AJARAN KASUKSMAN PRANSOEH, tujuannya buku tersebut nantinya bisa dipakai untuk panduan berbagai karya tulis murid-murid almarhum Romo Rps Sastrosuwignyo. Dikemudian hari, supaya ajaran Romo Panutan tetap murni sampai akhir jaman, sehingga nantinya ilmu tiga perangkat jangan samapai menjadi cerita atau dongeng, apalagi katanya, katanya, sebab ajaran Romo Panutan harus dibuktikan adanya. Penulis buku karya Darmawasita “ KITAB AGUNG PANDOM SUCI” judulnya murni ajaran kesucian, sayang sekarang sudah jarang ditemui kemana buku-buku tersebut berada, sehingga pada sekitar 1970. Sukirman Pujisuwito membuat “Buku Wasiat” yang isinya tidak berbeda dengan Agung Pandom Suci yang berbeda gaya bahasanya yang sangat sederhana, disini penulis sebagian besar mengambil sejarah dari awal digalinya Ilmu Tiga Perangkat dan sejarah Romo Panutan. Dalam penulis Kitab Agung Pandom Suci, Darmawasita di bantu sahabat-sahabat lainnya yang sudah ditunjuk oleh Romo Panutan. Dikemudian hari Pujiyo Prawiroharjono, membuat karya tulis dengan judul “AJARAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, NGESTHI KASAMPURNAN” yang beredar pada tahun 1987. Pujiyo Prawiroharjono seorang  seniman Jawa/ ahli Gending dan kerawitan yang cukup mumpuni sehingga  karya-karyanya yang muncul berupa tembang-tembang yang sangat komplit sampai beratus-ratus bait, disertai penjelasan-penjelasan sangat rinci dan mendalam, yang sebelumnya murid-murid yang lain belum berani memberikan penjelasan yang sangat mendetail seperti itu, penulis sangat berterimakasih kepada sesepuh-sesepuh kami, yang mewariskan karya-karya Agung dari Almarhum para sahabat-sahabat Romo Panutan sehingga kami kadang golongan masih mempunyai  nara sumber sejati masih sangat murni belum ada penyimpangan-penyimpangan ajaran Romo Panutan. Kalau sekarang ada satu dua perbedaan penafsiran, itu wajar karena tingkat kebersihan sipenerima petunjuk  memang sangat bgerbeda, Contohnya adalah salah satu murid  yang berpendidikan tinggi  (intelektual) menerima petunjuk dari Tuhan akan berbelit-belit karena dipengaruhi oleh kehidupan sehari-hari dan aktifitas yang sangat padat karena dia orang pintar (otak tidak pernah istirahat dunianya tidak pernah habis), ingin memajukan ini, ingin mengembangkan ini, membuat program ini dan seterusnya , dia tidak pernah berhenti untuk membuat terobosan supaya maju, dan itu wajar karena pendidikan formal memang tinggi sehingga kalau dia berhenti  berkarya percuma dia menuntut ilmu 20 tahun. Disitu hasil dari petunjuk yang diterima dari Tuhan kurang akurat karena pintar (pandai) itu kan nyawa (napsu). Oleh karena itu harus dibantu oleh kadang golongan yang hidup di desa-desa, digunung-gunung yang hidup bersahaja, kadang mereka hidup sangat sederhana, mereka buta huruf, karena orang sederhana daya pikirannyapun sederhana tanggung jawab ruang lingkupnya kecil sehingga beban yang dipikirannya kecil pula, mereka tidak pernah memikirkan yang muluk-muluk karena mustahil akan mencapainya, sehingga akhirnya hanya pasrah hidup mati kepada Sang Pencipta. Orang ini yang rata-rata mendapatkan petunjuk jelas (tidak pernah ditafsir) dan ini pun tidak mudah mencarinya, sebab ada kalanya orang yang hidupnya susah malah ada yang salah jalan, untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan 4 larang dan 7 kewajiban, ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga, artinya didunia menderita nanti setelah meninggal mendapatkan hukuman. Artinya double penderitaan. Sedangkan semestinya  yang betul , penderitaan yang sekarang kita terima dengan sabar dan iklas, jangan macam-macam, supaya nantinya kalau kita sudah menghadapi kematian mendapat tempat yang layak, tidak menderita lagi, apalagi setelah kematian ada kehidupan yang sangat panjang tidak ada habisnya, kalau suksma kita bisa lepas dari nyawa itu tidak ada masalah, pasti menghadap Utusan Tuhan. Kalau suksma dicengkram nyawa selama-lamanya terus bagaimana?.
Oleh karena itu kadang golongan selalu hidup dengan  semboyan Tanggung Renteng (Saling Membantu), sebab dunia ini sifatnya sementara, harta benda sebetulnya hanya pemuas nafsu (nyawa), kalau kita meninggal harta apapun kita sudah tidak membutuhkan lagi, yang dibutuhkan, BERTEMU UTUSAN TUHAN, MELIHAT CAHAYA TUHAN, BERPISAH DENGAN NYAWA KITA. Itu  yang kita butuhkan, kalau waktu hidup di dunia belum pernah mengenal, apalagi di alam kematian pasti tidak akan mengenal, lebih-lebih akan mustahil bisa ke alam akhir (menghadap Tuhan). Dalam tulisan ini sudah berapa kali penulis singgung dengn maksud pembaca selalu penulis ingatkan sehingga, ada pengertian yang kuat, sebab belajar ilmu ma’rifat yang tujuannya mencari ilmu tiga perangkat harus di dasari pengertian dasar yang kuat, kalau tidak paham penghayatannnya, hasilnya tidak akan maksimal, akan ada sifat ragu-ragu. Ini menyangkut kebutuhan yang sangat mendesak, sebab umur manusia banyak yang sangat pendek, usia masih muda tiba-tiba meninggal tanpa sebab, kalau umur kita panjang,  kesempatan untuk bertobat, lebih jauh waktunya, itupun tidak ada jaminan untuk bebas dosa, siapa tau dengan umur yang panjang dosa kita malah makin banyak. Nah, kalau sudah begitu, mana yang sebetulnya yang benar, umur pendek atau panjang itu rahasia Tuhan. Akan tetapi, kalau kita sudah katam, kita boleh bertanya kepada Tuhan. Ya... Tuhan, hamaba ini akan diberi umur berapa tahun?. Murid-murid Romo Panutan biasa menanyakan hal itu, hanya syaratnya harus mengenal yang di tanya, yaitu Utusan Tuhan (Katam dulu).
Selanjutnya kalau mendapat jawaban misalnya umur 40 tahun, kira-kira siap tidak menghadapi kematian, biasanya takut untuk menghadapi kematian. Penulis sendiri takut menanyakan soal umur, yang sering penulis tanyakan biasanya soal rezeki, misalnya
 Ya Tuhan, berikan hambamu ini uang yang berlimpah. Hasilnya jarang dikabulkan, yang didapat biasanya kecil-kecil, tidak apa, hidup ini kata orang seperti air mengalir. Katanya, bagaimana kalau tiba-tiba sampai di air terjun?, ya..., lebih baik jangan mengikuti air mengalir, kita jalani hidup ini apa adanya !!.
Kalau kita sehat jasmani, semua masalah akan dengan mudah kita selesaikan, berbeda kalau jasmani tidak sehat?, oleh karena itu berbuatlah bersih, jujur, dan suci, supaya kita mendapat perlindungan dari Tuhan, yang dampak kita tidak pernah memberikan penyakit, sebab Tuhan mempunyai sifat-sifat yang baik, pemurah, pengasih, penyayang, bijak dan lain sebagainya.
Kalau sudah paham betul tentang kekuasaan Tuhan jangan sekali-kali menyalahkan Tuhan, akan tetapi perlu penulis ingatkan, walaupun suksma manusia sudah dicengkram nafsu Utusan, kalau Tuhan menolong maka suksma tersebut akan terbebas dari hukuman, sebab kekuasan sentral ditangan Tuhan.
Sekarang para pembaca mungkin kurang menyadari bahwa manusia sering menyebut, manusia nantinya akan menghadap Tuhan, disisinya tuhan, dipangkuan Tuhan atau  kembali ke Tuhan, coba barang kali ada yang bisa menerangkan, penulis akan menunggu komentar dari para pembaca, kalau nanti sependapat dengan penulis, penulis berarti mendapat teman yang luar biasa, dan nantinya kami kadang golongan yang kebanykan ada di negara Indonesia, akan saling membagi informasi tersebut, sebelumnya penulis ucapkan banyak terimakasih kepada pembaca, apa sebabnya penulis minta masukan dari pembaca?, karma Ilmu Tiga Perangkat  bukan monopoli kadang golongan, pengalaman sudah banyak, bahwa sebagian murid-murid Romo Panutan sebelumnya belajar Ilmu Tiga Perangkat, sebelumnya banyak yang sudah bertemu salah satu ilmu tersebut bahkan ada yang sudah katam sebelum menghayati ilmu ini meskipun hanya satu dua orang. Hanya saja mereka tidak mengetahui apa dan siapa yang mereka temui di alam goib tersebut. Karena tidak ada yang menjelaskan (tidak ada yang membimbing) akan tetapi kegunaannya tetap sama dengan orang belajar ilmu tiga perangkat, terutama untuk bekal mati, bedanya orang tersebut tidak paham untuk keperluan di dunia, padahal ilmu tersebut sangat berguna bagi keperluan dunia dan bekal mati.
Romo Rps Sastrosuwignyo pernah menasehati secara keras terhadap murid-murid di Gunung Kidul pada waktu terserang wabah penyakit pes yang sampai merenggut banyak korban, sebab para kadang golongan hanya mengutamakan  usaha lahir, padahal kalau orang ma’rifat usaha batin harus nomor satu, baru ikhtiar lahir diupayakan, karena itu wabah yang digerakan oleh wahyu Sejatining Kakung (Wahyu Sejatining Putri). Berbeda dengan musibah kecil-kecillan, misalnya mendapat kecelakaan sehingga patah tulang, luka bakar, darah tinggi dan sebagainya. Segera ke tenaga ahli, itupun harus disertai usaha bathin memohon kesembuhan kepada Tuhan. Sehabis Romo Panutan mengingatkan murid-muridnya untuk supaya  setya  kepada Tuhan, kemudian Romo Panutan memberi syarat supaya wabah cepat hilang, untuk beberapa hari kemudian Gunung Kidul sudah aman dari penyakit yang menakutkan tersebut.
Romo Panutan sangat menghormati dan taat kepada negara yang baru merdeka tersebut, supaya tetap dipertahankan jangan samapai terjadi lagi penindasan oleh manusia atas manusia, pendek kata lahir tidak mau di jajah, bathin juga tidak mau diperbudak oleh nafsu (dijajah nafsu). Beliau sering berkata, dimana-mana salalu berpesan kepada murid-muridnya bagaimana kita harus bersikap terhadap bangsa dan negara, misalnya  beliau berpesan “ Negarane Dhewe, nganggo dhasar keTuhanan Yang Maha Esa, awake dhewe lahir bathin nekseni anane sesembahan Kang Maha Tunggal (sawiji) lan bisa nyowijeake, Bung Karno (President Republik Indonesia) lan Sapandereke, kalebu uga aku, kabeh iya duwe negara dhewe, kang wus mardika, anak phutuku  kudu mbantu marang negarane dhewe, aku mono karo sapa-sapa cocog-cocog bae, Anggere cocog karo kersane Gusti Allah. Iya iku ngrembuk wong akeh, dadine di tresnani wong akeh. Mardika mono emoh dijajah lahir bathine. Tegese lahir emoh dijajah Walanda, uga sapa-sapa, iyo emoh dijajah bathine/suksmane, iyo emoh dijajah dening nyawane/napsune. Sapa sing weruh penjajah bathin/suksma, kejaba mung murid-muridku kang padha ngerti/weruh.
Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bagini, “Negara kita berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, kita semua menyaksikan sendiri lahir dan bathin, adanya sembahan Yang Maha Tunggal (satun ), dan bisa mempersatukan Bung Karno (President Republik Indonesia I) dengan pengikutnya, termasuk saya (Romo Panutan). Semua juga mempunyai negara,  anak cucuku harus membantu negara kita, kalau saya dengan siapapun tetap cocok, akan tetapi harus menurut kehendak Tuhan (Gusti Allah), yaitu untuk kepentingan orang banyak, yang akhirnya dicintai orang banyak. Merdeka itu artinya tidak mau dijajah Belanda (karena waktu itu Indonesia dijajah Belanda/ Nederland, juga tidak mau dijajah bangsa lain.
Juga tidak mau dijajah bathinnya/suksmanya, juga tidak mau dijajah oleh nyawa kita sendiri/napsu kita masing-masing. Romo Panutan bertanya” Siapa yang tahu penjajah bathin/suksma, kecuali murid-muridku yang bisa membuktikan (melihat  dan mengerti sendiri).”
Undang-undang dasar yang sudah disahkan oleh pemerintah sangat cocok untuk ajaran Romo Panutan, sebab utamanya memakai dasar keTuhanan Yang Maha Esa, dan Demokrasi yang termaktuf pada Pancasila, dasar negara Republik Indonesia, itu yang sangat paralel dengann ajaran Romo Panutan hanya saja yang penting pelaksanaanya sangat tergantung para pemimpin itu sendiri dan ketaatan warga masyarakat untuk melaksanakan, sebab undang-undang bagus aturan bagus, kalau manusianya tidak bagus bagaimana?. Dasar keTuhanan Yang Maha Esa kalau dipraktekan dengan sistem ajaran Romo Panutan yaitu setiap melangkah apapun harus mohon petunjuk kepada Tuhan, hasilnya pasti bagus (tidak akan salah jalan), oleh karena itu kalau bangsa dipimpin oleh orang yang menganut ilmu  Tiga Perangkat dunia pasti aman. Rakyat akan sejahtera, tidak ada peperangan, semua masyawarah dan mufakat, saling membantu, saling menolong. Kemiskinan akan bisa dibrantas, kenapa harus perang yang membuat anak cuu kita sengsara, perang it tidak ada menang, semua mengalami  kekalahan, baik materi maupun korban jiwa, yag ada hanya kepuasan sesaat, kalaudi renungkan secara mendalam, semua menderita kerugian.
Oleh karena itu dasar KeTuhanan sangat penting karena akan ada hubungannya dengan Perikemanusiaan, artinya tenggang rasa, menjaga perasaan orang, kasihan jadi dalam hal ini kadang golongan sangat diuntungkan dengan dasar negara tersebut, sebab tanpa perikemanusiaan yang adil dan beradab, belajar ilmu Tiga Perangkat tidak akan berhasil. Demokrasi salah satu yang tertulis didalam Undang-Undang Dasar, itu sangat bagus manusia hidup berhak mempunyai kebebasan mengeluarkan pendapat, mempunyai paham, keyakinan, kepercayaan, dan Agama. Semua harus dihormati dan dilindungi, tidak boleh yang besar menindas yang kecil, yang satu menjelek-jelekan yang lain, apalagi maunya menang sendiri, apabila sesuatu paham atau keyakinan masih menganggap kelompoknya lebih sempurna dari yang lain, ini nantinya akan menimbulkan bibit perpecahan yang akan menjalar semakin besar, dan ini akan membahayakan  keselamatan kita bersama, oleh karena itu disini pentingnya mengalahkan diri sendiri (memerangi nafsu) supaya egoisme harus ditekan habis, awalnya harus belajar menghargai pendapat orang, meskipun mungkin kita tidak cocok dalam pendapat itu, kita harus keras terhadap diri kita sendiri, sebab kalau kita keras terhadap orang lain, itu sangat beresiko, akan menimbulkan konflik, harus sabar (sabar dengan kesadaran jangan dipaksa), dingin, senyum, menjaga perasaan orang, kalau orang Jawa bilang Budhi Pekerti (Budhi artinya hati nurani, dan pekerti artinya perbuatan lahir), artinya lahir dan Bathin harus klop (sama).
Keadilan sosial juga termasuk dalam Pancasila, dalam kehidupan di Indonesia, perilaku sosial sudah menjadi ciri khas kehidupan dari nenek moyang Bangsa Indonesia, orang tidak mungkin bisa hidup tanpa bantuan orang lain andai kata bisa dia tidak akan bertahan lama, tolong menolong adalah sesudah menjadi kodrat hidup manusia, kita saling bantu-membantu antar tetangga, antara karyawan, antara kelompok, antara bangsa yang satu dengan bangsa  yang lain, maksudnya untuk meringankan beban manakala ada yang kesulitan atau kekurangan, oleh karena untuk mencapai masyarakat adil dam makmur sangat sulit, semestinya yang kaya harus membantu yang miskin, adil tidak harus sama bagiannya dan itu sulit dilaksanakan, belum ada negara manapun yang adil makmur di dunia ini, sebab sulitnya manusia memerangi dirinya sendiri, yang mudah itu memerangi orang lain.
Kebangsaan juga termasuk dalam Pancasila, manusia boleh bangga menyebut saya bangsa ini (misalnya) bangsa saya lebig bagus dari bangsa lain, bangsa saya lebih unggul segalanya misalnya. Itu pandangan yang sempit, perbedaan-perbedaan dan budaya jangan menjadi manusia sombong, dunia ini Tuhan yang mengatur, manakala Tuhan menghendaki perubahan suatu bangsa, bangsa itu akan berubah menjadi baik dan itu tidak mustahil, murid-murid Romo Panutan banyak yang mendapat petunjuk dari Tuhan, misalnya Negara Pasir Tahun sekian akan hancur lebur, Negara laut tahun sekian akan perang habis-habisan dengan negara Gunung, itu hanya perumpamaan, dan itu tidak bisa dihindarkan, pasti terjadi, oleh karena murid-muridnya Romo Panutan sangat Percaya dengan Takdir artinya sebelum peristiwa itu terjadi kami sudah diberi petunjuk.
Romo Panutan sering memberikan wejangan, semenjak dunia ini ada beserta isinya, utamanya berisi umat manusia, mereka ada yang percaya adanya Tuhan ada yang tidak percaya kalau Tuhan itu ada. Penulis pada waktu gempa terjadi di Selatan Yogyakarta yang merenggut nyawa  4.000 (empat ribu) orang lebih, yang terjadi 2006, pada hari minggu pagi sebelumnya pada hari jum’at, dua hari sebelum gempa terjadi, penulis mendapat petunjuk, tetapi tidak berpikir untuk memberi kabar kepada kadang golongan Gunung Kidul, biasanya murid-murid Romo Panutan yang di Gunung Kidul juga mendapat petunjuk akan terjadi bencana alam, ternyata mereka tidak mendapat petunjuk, beruntung tidak ada korban jiwa disana, akan tetapi rumah/bangunan banyak yag hancur.
Pada waktu Romo Rps Sastrosuwignyo mendapat wahyu yang ke 2, sudah dijelaskan mana yang menjadi bagian wahyu Sejaning Kakung/Putri, dan mana yang nantinya menghadap Tuhan dan ada yang mengambang di alam penantian(alam Kubur), artinya ikut utusan Tuhan juga tidak, ikut sepenuhnya wahyu Sejaning Kakung/Putri juga tidak masih menunggu peradilan, semua manusia hidup menjalani kodrat masing-masing sebab hidup sekarang, memetik buah hidup masa lalu, begitu pula hidup nantinya, kalau timbul di dunia adalah hasil perbuatan hidup sekarang ini.
Andai kata seseorang hidup di dunia tidak percaya adanya Tuhan, itu karena dia memetik perbuatan hidup masa lalu (mungkin waktu dulu sama sekali tidak memikirkan kesucian/kebaikan sehingga hukuman dipetik sekarang lebih berat, tidak percaya adanya Tuhan.
Romo Panutan sering memberi perintah kepada murid-muridnya, “Siapa yang menggerakakn dunia seisinya?, Kejadian-kejadian yang terjadi didunia setiap saat itu karena pengaruh siapa/apa?, saya tidak masuk golongan atau partai apapun akan tetapi saya membela yang miskin, yang sakit dan orang yang sedang kesusahan, bahkan orang-orang yang dipengaruhi jin/Ijajil (Roh Jahat) tetap saya tolong, saya bela tetapi yang penting harus nurut saya (Panutan). Kalau tidak percaya dengan beliau artinya kalau meninggal tidak akan bertemu dengan utusan Tuhan, karena Romo Rps Sastrosuwignyo sudah menyatu dengan wahyu roh suci. Bersamaan bertemunya dengan Wahyu Sejatining Kakung/Putri bahkan sudah saling membagi wilayah dan mempunyai bagian masing-masing bahkan Wahyu Sejatining  Kakung/Putri memberi bonus apabila memerlukan bantuan, dia akan membantu utusan, tinggal keperluan yang diminta utusan, wahyu sejatining kakung/putri selalu siap. Perlu dipahami/dimengerti Wahyu Sejatining Kakung/Putri pekerjaannya membuat malapetaka, membut kerusakan, mendatangkan penyakit, pendek kata membuat kerugian apa dan siapa saja baik di dunia maupun alam kubur, sebab dia memang Raja dirajanya Nafsu Manusia.
Romo Rps Sastrosuwignyo mempunyai anak  yang bernama R.B Dwijosubroto , memeluk agama Katholik dan tidak percaya dengan kemampuan ayahnya (berbeda keyakinan), R.B Dwijosubroto seorang guru dikota Malang. Dia mempunyai teman satu keyainan, hidup temannya kurang tentram karena sering diganggu Jin (Roh Jahat), orang tersebut bingung dan putus asa bagaimana bisa terjadi, dia sering tidur akan tetapi tiba-tiba sudah berpindah tempat, pernah ada suara “Kula nuwun” (salam orang Jawa kalau bertamu). Setelah ditengok di depan pintu tidak ada orangnya. Sering terjaga dari tidur dan gemeteran karena terkejut, dia sudah berupaya (iktiar) lahir bathin akan tetapi tidak menemui hasil, semakin hari semakin ketakutan, hidupnya tidak tentram. R.B Dwijosubroto ingin mencoba membantu sahabatnya yang sedang mendapat musibah tersebut, dia teringat ayahnya yang sangat terkenal, katanya kyai jempolan (terkenal) muridnya banyak, sekalian akan mencoba kehebatan ayahnya (Romo Rps Sastrosuwignyo). Dia mohon kepada sang ayah supaya mau menolong sahabatnya tersebut.
Romo Panutan memberi saran, supaya sahabat anaknya tadi menyediakan sajian berupa makanan yang dibeli di pasar selama satu minggu lamanya, setiap hari makanannya harus diganti, “Setelah menjalani perintah tersebut betul saja hidupnya tentram tidak pernah ada gangguan untuk selamanya. R.B Dwijosubroto dan sehabatnya heran (tertegun) orang Jawa bilang Ngungun, dengan kejadian tersebut (mestinya harus belajar mencari ilmu tersebut, setelah ada pembuktian sperti itu, namun tidak boleh dipaksakan karena sebagai contoh, Burung Kepondak dan Burung Tekukur memang makanannnya berbeda.
Romo Rps Sastrosuwignyo menurut kesaksian para sesepuh sering melakukan hal yang aneh-aneh untuk orang umum mungkin banyak yang bingung, sebab yang dilakukan Romo Panutan memang menganndung makna sangat rahasia yang ada hubungannya dengan kejadian-kejadian yang akan datang, untuk murid-murid hal itu sudah biasa, meskipun tidak ada yang berani menanyakan hal itu. Kebiasan yang dilakukan Panutan adalah ujian bagi murid-muridnya untuk memohon petunjuk kepada Tuhan apa makna yang dilakukan Panutan tersebut misalnya:
Pada suatu hari Romo Panutan mengikat Bencok ( katak pohon) lalu dibuang di alun-alun Yogyakarta, padahal cukup jauh dari kota Muntilan, tembakau yang kwalitas satu di rendam dengan air, lau dibuang ditengah jalan raya, binatang piaraan (kesayangan) digantung (anjing Helder). Ayam jago yang buta kedua belah matanya di adu. Biasanya kalau Romo Panutan berbuat seperti itu pasti ada tujuan yang sangat penting dan berdampak seluruh dunia. Memang kalau yang tidak paham, hal yang aneh-aneh tersebut tidak masuk akal, sedangkan murid-muridnya Romo Panutan sendiri banyak yang tidak mengetahui apa maksudnya, akan tetapi nanti kalau sudah terjadi peristiwa, baru Romo Panutan memberi penjelasan, kalau sebelum terjadi sudah dijelaskan kuasaan tuhan, Romo Panutan sangat melarang keras dan resikonya sangat berat untuk orang tersebut.
Ada lagi  kejadian-kejadian yang juga termasuk aneh (mustahil) kalau dihubungkan dengan bukti lahiriah, contoh: Orang sakit yang sudah tidak mempan segala obat, dokterpun sudah menolak (tidak sanggup), dukunpun sudah angkat tangan (menyerah), Romo Panutan menolong dengan syarat yang aneh-aneh, orang tersebut tidak lama sudah sehat seperti sedia kala, obatnyapun aneh, orang tersebut disuruh menanam singkong (ketela), menanam ubi dan menanam tebu. Ada pula yang disuruh Ziarah dimakam ibunya, disuruh memelihara burung, memelihara ayam jago dengan warna bulu tertentu, bahkan si sakit menurut dokter harus di operasi, obatnya aneh, disuruh menggoreng ikan merah (waderbang) disebelah, terus digoreng lalu dimakan. Orang yang sakit tersebut tidak jadi di operasi dan langsung sembuh.
Pada waktu itu masih alam perang karena setelah proklamasi, Indonesia masih akan dijajah lagi, di Semarang para pejuang bertempur habis-habisan melawan sekutu terutama di kota (menurut cerita para pejuang dari Semarang itu pertempuran besar-besaran). Seorang Lurah dari kampung Kintelan, daerah Semarang yang lari (mengungsi) ke Yogyakarta, dan mampir disalah satu rumah kadang golongan di kampung Jambu, melihat di dinding rumah terpampang foto Romo Rps Sastrosuwignyo (yang empunya Rumah namanya Pawirodikromo). Lurah tadi melotot melihat foto tersebut, rasa-rasanya dia pernah bertemu atau mengenal orang yang ada di foto tersebut, tetapi dalam keadaan hidup bukan foto (gambar). Lurah tersebut tidak tahan lagi, lalu bertanya kepada Pawirodikromo, “Puniko, gambaripun sinten mas, dipun sumpaha kula purun, bilih inggih puniko ingkang misakit Hitler, Rikola semanten ngajengbaken ambrukipun Jerman”. Artinya begini : Ini gambar siapa mas, saya berani di sumpah, ya ini yang saya lihat dialam mimpi, yang menyiksa Hitler, Pada waktu itu menjelang runtuhnya Jerman. Pawirodikromo menjelaskan itu guru saya, guru semua murid-murid OMM, beliau masih hidup. Lurah tersebut bilang kalau boleh ingin berguru kepada Romo Rps Sastrosuwignyo, kalau tidak boleh yang penting lurah tersebut ingin menghadap, bisa bertemu dengan Romo Panutan, dia sudah puas, oleh karena itu lurah tersebut minta diantar menghadap Romo Panutan. Lurah tersebut langsung belajar mencari ilmu 3 perangkat tidak lama lalu katam. Sayangnya belum sampai ikut menyebarkan ilmu, bebrapa bulan kemudian lurah tersebut meninggal dunia.

BAB XIV KADANG GOLONGAN (O.M.M.) MENJELANG PERANG DUNIA KE II DAN PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG

Setelah terbentuk organisasi O.M.M. semakin memudahkan perkembangan Ilmu Tiga Perangkat, semua masalah yang timbul baik urusan warga maupun yang berhubungan dengan Pemerintah dan keyakinan dari kelompok lain diselesaikan dengan mudah dan cepat. Apalagi yang menyangkut kerukunan umat, OMM selalu menjadi penengah yang bijaksana. Pada waktu itu masa-masa perang utamanya di daratan Eropa. Di Hindia Belanda (Indonesia), Belanda takluk dengan Jepang hampir tidak ada perlawanan. Indonesia lepas dari mulut buaya masuk mulut kuda nil. Jepang kejamnya minta ampun dengan kedok persaudaraan antara saudara tua dan saudara muda. Kekayaan alam Indonesia habis dikuras tidak tersisa, penyakit, kelaparan, kematian manusia diperkirakan mencapai jutaan orang. Mungkin kalau tidak dikalahkan oleh Amerika (dibom), rakyat Indonesia dua tahu lagi pasti habis mati kelaparan. Para murid Romo Panutan tidak tinggal diam disamping bergabung dalam pasukan PETA (yang muda-muda) para sesepuh giat melakukan puasa supaya penjajahan cepat hilang dimuka bumi Indonesia. Sebab para kadang golongan tidak mau dijajah secara batin (oleh Napsu angkara murka) juga tidak mau dijajah secara lahir / fisik.
    Romo Panutan mengerti penderitaan para murid-muridnya. Oleh karena itu kesenian karawitan, wayang kulit terus-terusan dipagelarkan dengan judul berisi sindiran-sindiran yang ditujukan kapada para penjajah lahir, misalnya murid-muridnya disuruh sering membaca Pusaka Puji Langgeng yang daya gunanya bisa mengusir roh jahat dan bisa untuk mejauhkan penyakit dan mara bahaya. Gendhing Jawa seperti Tri Asmara Tunggal, Tri Pusara Muda (ciptaan Romo Panutan manjur untuk segala keperluan asal kuat puasanya).
    Gubahan cerita wayang kulit dengan judul “Srikandi Racut” sebagai sindiran bahwa Ratu Putri Wilhelmina turun dari dampar keraton, yang artinya Belanda akan hengkang dari Indonesia. Judul “Guru Kawiyak”, sebagai sindiran bahwa Jepang yang ke Indonesia dengan kedok mendidik rakyat Indonesia sebetulnya akan menjajah dan menjarah dan mengumbar angkara murka mereka dan ujung-ujungnya akan ketahuan belangnya dan mengalami nasib yang sangat menderita. Menjelang runtuhnya pemerintah Kolonial Belanda SMH Sirwoko membuat buku “Garan Pusaka Batin” yang isinya menjelaskan Rahasia Ilmu Tiga Perangkat yang digali oleh Romo Rps Sastrosuwignyo dan cara-cara pokok utuk membuktikan adanya Ilmu Tiga Perangkat. Martawiyoga menulis “Kunci Pusaka Batin” yang isinya hampir sama dengan karya SMH Sirwoko namun ditambah dengan rapal / amalan.
    Dengan demikian setelah kedua buku tersebut dicetak terus disebar luaskan kepelosok daerah untuk pedoman penghayatan lahir / batin, sehingga menambah wawasan kadang golongan yang tempat tinggalnya jauh dari jangkauan para pengurus OMM. Oleh karena kedua buku tersebut memang untuk mendidik budhi pekerti umat manusia maka boleh dibaca oleh anggauta masyarakat umum, karena isinya memang tidak menyinggung perasaan umat manusia pada umumnya.
    Menjelang pasukan Jepang tiba di Indonesia, Romo Panutan memberi petunjuk kepada murid-muridnya mohon bertemu dengan Juru Selamat. Sebagian murid yang sudah katam cepat tanggap dengan perintah Romo Panutan tersebut, tidak lama lagi pasti ada bahaya. Pengurus OMM segera menyebarkan berita keseluruh kadang golongan supaya siap-siap batin, puasa, tidur disembarang tempat, mohon perlindungan dari Tuhan. Romo Panutan sudah tahu memang sudah kodrat Indonesia dijajah Jepang. Prabu Jayabaya, peramal ulung Raja Kediri sekitar tahun 1200 sudah meramalkan hal itu, namun hanya seumur jagung Indonesia dijajah Jepang (ternyata jagung jaman dulu umurnya tiga setengah tahun). Jepang dengan cepat menguasai Indonesia di kota Muntilan serdadu Jepang menurut cerita para sesepuh terkenal sangat kejam. Warga setempat tidak ada yang berani menemui apalagi memang tidak mengerti bahasanya. Atas permintaan pejabat pemerintah setempat, Romo Panutan diminta untuk menemui serdadu Jepang tersebut. Romo Panutan menyanggupi dengan ditemani orang banyak. Romo Panutan tidak mengerti bahasa Jepang akan tetapi Romo Panutan tahu isi hati para serdadu Jepang tersebut, memang terlihat lucu tetapi berjalan lancar. Jepang sangat memperhatikan OMM terbukti SMH Sirwoko dan Martaradana sering dipanggil di kantor Kepolisian Jepang, Kantor Kempei Tai dan kantor Kochi. Malah pembesar Kantor Urusan Agama Pusat dari Jakarta khusus datang ke Semanu khusus untuk meneliti OMM. Pejabat agama tadi namanya Abdul Muiam Inada (ternyata ada juga serdadu Jepang yang muslim).
    Karena sebelumnya SMH Sirwoko sudah mendapat petunjuk dari Tuhan bahwa utusan dari Kantor Agama tersebut bertujuan jahad, maka SMH Sirwoko ngumpet di pegunungan Seribu yang jauh dari kota Semanu.
    Pada masa-masa yang sangat menekan karena penjajahan Jepang kadang golongan semakin mendekat kepada Tuhan untuk memohon perlindungan supaya selamat lahir dan batin Romo Rps Sastrosuwignyo memberi petunjuk kepada murid-muridnya jangan sampai ada yang melanggar larangan dan menambah tirakat (puasa), murid-murid sangat taat tidak ada yang berani melanggar sama sekali sebab pasti akan mendapat masalah. SMH Sirwoko selaku sesepuh OMM memerintahkan kepada pemuda / pemudi yang sudah dewasa untuk menunda perkawinan untuk beberapa tahun. Sudah pasti anjuran tersebut sangat berat bagi yang sudah mempunyai rencana berumah tangga. Bagaimanapun beratnya para warga kadang golongan tetap taat pada larangan tersebut memang ada satu dua yang melanggar karena dengan alasan-alasan tertentu. Mengapa ada larangan tersebut? Para katam sebagian memohon keterangan kepada Tuhan, setelah mendapat keterangan baru mereka puas. Yang belum mendapat petunjuk lalu diberi keterangan disuruh menyaksikan tahun-tahun kedepan pasti ada kejadian yang sangat dirahasiakan. Pemerintah Jepang semakin kejam. OMM selalu diikuti para petugas intelijen. Para murid jarang sekali berani menghadap Romo Panutan, karena diawasi Jepang. Karena Jepang mengetahui isi dari ilmu yang dipelajari murid-murid kadang golongan sehingga pemerintah Jepang takut boroknya ketahuan. Para anggauta OMM hanya bergiliran untuk menghadap Romo Rps Sastrosuwignyo itupun harus memakai setrategi supaya tidak tercium oleh antek-antek Jepang. Pada waktu menjelang bahaya kelaparan Romo Panutan sudah memberi perlambang kepada murid-muridnya. Beliau memakai pakaian yang kumal dan sobek-sobek disertai disertai makan nasi singkong (ketela) yang biasanya selama ini Romo Panutan tidak biasa makan nasi gaplek (nasi yang bahannya dari singkong). Waktu itu Romo Panutan sedang mendatangi salah satu murid (sahabat yang sangat setya) namanya Sukirman Pudjosuwito di desa Jeruk, Wonosari. Romo Panutan tahu bahwa pemerintah Hitler akan ambruk dan saat matinya pemimpin Nazi tersebut murid-muridnya diberitahu dengan berbagai tanda dan kata-kata kiasan misalnya Romo Panutan mempunyai anjing Helder mati mendadak. Itu sebagai perlambang kalau Adolf Hitler sudah berakhir baik pemerintahannya maupun Hitler pribadi.
    Pada waktu itu Ilmu Tiga Perangkat sudah banyak dipelajari keluarga kerajaan Mataram. Untuk kadang golongan yang terdiri dari keluarga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut Romo Panutan memberi pendidikan khusus maklum para bangsawan pada waktu itu dimasyarakat Jawa posisi di dalam masyarakat sangat dihormati, maklum karena keturunan Raja dan tempat tinggalnya pun pasti dilingkungan kerajaan. Statusnya pasti berbeda apalagi pada waktu itu Indonesia belum merdeka sehingga sistem feodal masih sangat dijaga oleh siapapun mungkin seperti kasta, sehingga meskipun sama-sama kadang golongan, hubungan trah bangsawan dengan orang desa pasti ada. Lain halnya untuk masa sekarang, keluarga kerajaan biasanya malu kalau nama depannya memakai simbol R (raden). Seperti penulis sendiri tidak pernah nama depan memakai simbol R karena penulis memang keturunan petani biasa bukan keturunan bangsawan.
    Untuk murid-murid (siswa) trah kerajaan Romo Panutan memberi perintah / tugas dengan bahasa Jawa halus,”Eyang dalem kanjeng Sultan Agung ing Mataram ingkang sumare ing Pajimatan Imogiri punika suksamanipun sapriki taksih lan saged dipun padosi. Suksma punika mboten kenging pejah, gesang langgeng. Langgeng tegesipun rumiyin wonten, sakpunika tirah wonten, ing saklajengipun tansah wonten kemawon. Mila kula aturi sami madosi. Nyuwun dhateng Gusti Allah kula tanggel mesti saged pinanggih. Semanten wau yen nggega lan miturut atur kula. Inggih punika lampahipun tumindak suci. Yen atur kula punika dora, kula purun dipun gantung ing alun-alun eler ngantos pejah lan balung-balung kula kajengipun nggegreki!!”
    Petunjuk dan perintah yang bertaruh nyawa tersebut memberi motifasi yang luar biasa besarnya terhadap kadang golongan dari warga bangsawan untuk betul-betul berniat membuktikan dengan hati suci dan jujur adapun perintah tersebut dalam bahasa Indonesia sebagai berikut, “ Kakek buyutmu sultan Agung dari Mataram yang sekarang dimakamkan di makam raja-raja di Jimatan, Imogiri, Suksamanya sekarang masih bisa dicari. Suksma tersebut masih kekal tidak bisa mati masih hidup kekal. Kekal artinya dulu ada, sekarang sangat-sangat ada yang selamanya tetap ada. Oleh karena itu silahkan mencari / membuktikan sendiri memohon kepada Tuhan, saya jamin pasti bisa bertemu (membuktikan). Kalau mau percaya dengan omongan saya dan menuruti perintah saya asal dengan syarat mau berbuat jujur dan suci. Kalau sampai yang saya katakan tadi bohong, saya siap mati digantung di alun-alun utara (depan keraton) sampai mati, sampai tulang belulang saya pada jatuh (rontok ketanah).”
    Setelah mendengar penjelasan Romo Rpsa Sastrosuwignyo yang sangat keras dan tajam tadi para murid dari keraton tadi terperangah dan tertegun. Itu tidak main-main mereka semakin serius untuk membuktikan apalagi yang dicari adalah Suksma Suci leluhurnya sendiri. Setelah itu banyak yang berhasil membuktikan sehingga sangat berpengaruh kepada kerabat-kerabat yang lain untuk membuktikannya. Hanya saja meskipun satu golongan antara trah kerajaan dengan murid-murid dari desa tetap tidak bisa berhubungan dengan bebas karena perbedaan status tadi, sehingga hanya Romo Panutan saja yang bisa erat dan akrab berhubungan dengan kaum bangsawan tersebut.
Kaum bangsawan tadi sering menghadap Romo Panutan hanya ada keperluan saja misalnya minta obat karena ada keluarganya yang sakit, mohon pangkat naik dan keperluan yang lain. Akan tetapi Romo Panutan dengan senang hati melayani murid-muridnya tersebut. Romo Panutan tidak mau mengecewakan siapapun.
    Didalam ajaran Ilmu Tiga Perangkat siapapun yang menyaksikan (berjumpa) Romo Rps Sastrosuwignyo, itu termasuk orang istimewa berbeda dengan orang-orang biasa, sebab orang yang kurang suci dan jujur mustahil bisa bertemu dengan Utusan (kecuali orang yang terpanggil).
 Pada akhirnya pemerintah Jepang mengakui dan tidak mengganggu Romo Rps Sastrosuwignyo bahkan, beliau mendapat surat penghargaan dari pemerintah Jepang, karena Romo Panutan sebagai ketua OMM dimulai sangat bagus karena mengajarkan ilmu kesucian, pemerintah Jepang mengetahui karena mendapat masukan dari para punggawa pemerintah setempat karena semua mengetahui kalau Romo Panutan memang orang suci dan sangat disayang  oleh semua anggota masyarakat Muntilan dan sekitatarnya. Masyarakat Kota Muntilan  umumnya banyak yang pernah dibantu oleh Romo Panutan dengan berbagai masalah dari masalah keluarga yang sakit, yang kekurangan, yang mendapat gangguan dari ilmu-ilmu hitam, ada yang ingin pekerjaan, ingin naik pangkat dan masih banyak persoalan-persoalan hidup yang mereka tidak biasa mengatasi yang akhirnya mereka minta bantiuan kepada Romo Panutan, sehingga tidak mengherankan kalau mereka menilai Romo Rps Sastrosuwignyo memang pengayoman warga.
Romo Panutan pernah memberi nasehat kepada tamu-tamu yang menghadap beliau (dalam bahasa Jawa): Kula aturi nyuwun kemawon kaliyan Gusti Allah yen saben badhe mapan sare, nyuwun pinanggih kaliyan ingkang nguwaosi pangkat (drajad), sawarnane pangkat ing ndonga puniko. Yen saget pinanggih, pangkat ingkang panjenengan sedyo tentu kadumugen, kula ingkang tanggal. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesianya: “Saya persilahkan memohon kepada Gusti Allah, setiap akan tidur mohon bertemu dengan yang menguasai pangkat (derajat) manusia seluruh dunia ini (semua jenis pangkat apapun). Kalau bisa bertemu, pangkat yang kamu minta pasti akan terkabul, saya bertanggung jawab.” Kenyataan semua orang meminta naik pangkat atau meminta pekerjaan, asal di alam mimipi bisa bertemu dengan beliau dalam berpakaian yang komplit dan rapi, akan tetapi dalam posisi beliau tidak bertolak pinggang, tidak tertawa (apalagi giginya sampai kelihatan) dan perasaan kita tidak takut, tidak benci, tidak khawatir, tidak malu, tidak curiga, pendek kata rasa hati terlindungi oleh beliau, permohonannya sebentar lagi akan terkabul.
Namun sebaliknya kalau bertemu beliau kebalikan dengan diatas dengan Wahyu Sejatining Kakang (pusat kembalinya nyawa/napsu manusia). Jadi wujud sama akan tetapi berlawanan dalam segala hal. Hanya sayangnya masyarakat umum hanya minta kebutuhan dunia, mereka tidak mencari bekal mati dikemudian hari, kalau sudah terkabul permintannya, umumnya mereka lupa kepada kepada Romo Panutan. Banyak yang salah jalan mereka malah ada yang minta bantuan jin/setan, tidur di gua-gua, dimakam-makam keramat, supaya terkabul apa yang menjadi cita-citanya. Ada yang khusus mencari kebutuhan lahir tidak percaya Tuhan (setengah-setengah) mereka rajin bekerja, yang penting harta banyak, pangkat tinggi, gaji besar, kalau perlu isteri banyak. Jadi tidak memikirkan sama sekali hidup sesudah mati.
Memang tidak mudah hidup didunia untuk ukuran orang ingin kembali ke pangkuan Tuhan, sebab banyak yang harus dihindari berupa larangan. Untuk orang yang tidak memikirkan suksmanya ingin kembali ke Tuhan. Hidup itu mudah yang penting urusan napsu terpenuhi sudah puas, soal mati manusia tidak tahu karena tidak pernah belajar tentang ilmu ma’rifat.
Memang sebetulnya hidupdi  dunia itu ujian bagi umat manusia, kita mengalami hidup menurut kodrat dan kekuasaan Tuhan oleh karena itu kebanyakan yang kita kejar hanya memenuhi kebutuhan selama kehidupan di dunia, oleh karena itu dari kecil pasti disekolahkan sampai akhir remaja harus memiliki keahlian (ketrampilan) supaya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya dan mendapatkan gaji untuk memenuhi kebutuhan kelak sudah berkeluarga. Punya tempat tinggal, punya penghasilan pokok, punya kendaraan, kalau perlu menuntut ilmu sampai S1 atau S2. Seterusnya selama dia mampu dan mempunyai biaya untuk mencapai cita-citanya, tidak akan berhenti mencapai bintang-bintang di langit. Didalam kehidupan sehari-hari khususnya di Indonesia, menganut paham agama menjadi salah satu pegangan hidup, selain agama ada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab tanpa ber Tuhan hidup ini tidak akan tenang bagaimanapun bertimbun harta benda, hidup mewah selalu berlimpah, dihormati banyak orang bahkan ditakuti karena kekuasaannya kematian tidak bisa dihindarkan, dan semua yang selama ini kita kumpulkan sedikit demi sedikit setiap hari kita tinggalkan, harta itu selanjutnya jatuh ke anak cucu kita (kalau mempunyai anak cucu) kalau tidak mempunyai pasti menimbulkan sangketa diantara keluarga yang kita tinggalkan.
Yang pasti untuk menghadapi kematian pasti kita tidak tahu kapan kita akan meninggalkkan dunia fana ini. Diawal cerita, penulis telah memberi contoh almarhum Kakek dan ayah penulis, bahwa beliau akan meninggal sebelumnya sudah berpamitan 35 hari lagi akan meninggal (kakek) untuk ayah penulis sudah 3 kali dipanggil Tuhan, yang terakhir sudah tidak boleh mundur lagi, kenyataan memang tepat waktu, dengan posisi Tangan (SEDAKEP) dilipat didada terus meninggal sebelum meniggal banyak memberi pesan kepada anak cucu, yaitu harus jujur hidup itu, tolong menolong, tenggang rasa, jangan suka bertengkar, harus saling mengalah, orang yang suka mengalah, Tuhan pasti melindungi lahir bathin, hidup harus seimbang antara kebutuhan napsu (lahir) dengan bekal mati paling tidak 50 % untuk napsu 50% untuk bekal mati, harus sering mengalahkan napsu (puasa). Sebab puasa itu sama halnya rem manakala kita mengemudikan kendaraan, kalau kendaraan tanpa rem bisa masuk jurang, bahkan bisa mencelakakan orang lain (menabrak hingga tewas). Jadi kendaraan itu ibaratnya jasmani kita yang didalamnya ada nafsu (nyawa).
Itu tadi nasehat ayah saya menjelang beliau meninggal meskipun beliau hanya murid dari Romo Panutan beliau pernah di sabda oleh Romo Panutan: Kamu Jujur, nanti anak-anakmu akan mendapat kemulian. Itu kata almarhum ayah penulis tidak tahu apa yang disebut mendapat kemuliaan sampai sekarang penulis tidak tahu, mungkin itu hanya kemungkinan loh !, Penulis dan saudara kandung penulis, yang dua orang lagi bisa katam itu barangkali. Memang penulis rasakan dengan belajar ilmu tiga perangkat dan bisa katam, bagi penulis sperti mendapat emas 24 karat yang puluhan ton beratnya itu karena saking berharganya. Orang katam pernah bisa menembus dosa (karena bisa bertemu dengan sang penebus dosa). Hanya masalahnya, setelah katam bissa bertahan apa tidak,  kalau melakukan pelanggaran utamanya berjina, 100 % mendapat siksaan dialam kubur bagian paling bawah, dan suksma yang seharusnya menghadap Tuhan, dia tidak bisa menghadap, posisi suksma terbelenggu oleh si nyawa (napsu) itulah yang disebut hidup itu tidak mudah bagi yang mengetahui rahasia hidup dan rahasia mati, sebab yang pria diganggu wanita, yang wanita diganggu pria, itu sepanjang masa dan kejadian itu prosesnya sangat mudah.
Tetapi sebaliknya manusia yang sudah katam dan bisa bertahan menghindari 4 larangan dan memenuhi 7 kewajiban dan selalu menjalankan tirakat/puasa, setelah meninggal bisa untuk menentukan hidup di kemudian kelak (hidup Manitis) atau REINKARNASI.