Rabu, 16 Mei 2012

BAB XVII BERDIRINYA ASTANA WAJA DAN BALESUCI PRAN SOEH

      Dalam tulisan selanjutnya pengabaran ilmu tiga perangkat semakin banyak dan semakin rumit, disini dijelaskan ajaran Romo Panutan kepada para murid-murid senior yang pada saat ini murid-murid tersebut sudah banyak yang meninggal, masih ada yang tersisa satu dua yang hubungannya dengan Panutan termasuk dekat, akan tetapi tidak banyak menyimpan cerita, kalau ditanya kesan selama menghadap dan mengenal Panutan bagaimana? Jawabannya: Beliau sejuk,Ramah, banyak sekali muridnya, sangat berwibawa, Sederhana, Rajin bekerja, berpakaiaan tradisional jawa, rendah hati,dan sebagainya, masih banyak kelebihan-kelebihan yang disaksikan oleh masing-masing murid, akan tetapi tidak dimasukan dalam dokumen sejarah Panutan, untuk murid-murid terutama sahabat-sahabat Panutan yang jumlahnya 11 (sebelas orang) yang sekarang sudah tidak ada, sebetulnya pasti banyak cerita yang sangat beragam kalau dibukukan, sayang sekali para sahabat tidak banyak meninggalkan catatan tentang hubungan mereka dengan Panutan. Apa saja yang mereka bicarakan selama ini, padahal kalau penulis pernah mendengar cerita dari Bapak Pujosuwito banyak sekali hal-hal yang aneh yang dialami selama Bapak Pujosuwito menghadap dan turut mengantarkan Panutan ke pelosok Wilayah untuk melihat dari dekat keadaan muridnya contohnya, menurut cerita Bapak  Pujosuwito : Pada suatu hari Bapak Pujosuwito berunding dengan istr inya, bagaimana kalau Rumah dan pekarangannya yang sekarang di tempati di desa Jeruksari Wonosari di jual saja, dan pindah tempat, rupanya Ibu Pujosuwito mendukung saja. Tidak lama berselang hanya beberapa menit Romo Panutan datang dan berkata : “ Nak Pujo, Nak Pujo, Petaranganku rak isih to ? ora sido d idol too?” Kira-kira begitu Romo Panutan berkata kepada Pujosuwito dan istrinya, yang artinya begini :” Nak Pujo,Nak Pujo, Sarangku masih ada kan ? tidak jadi dijual kan?” disini istilah sarang maksudnya rumah.Bapak  Pujosuwito kaget dan heran, mungkinkah Romo Panutan bisa terbang? Pertama jarak rumah Panutan ke gunung Kidul (Rumah Bapak  Pujosuwito) hampir 100 km, Kedua Panutan mengetahui rencana Bapak  Pujosuwito untuk menjual Rumah, Akhirnya Bapak Pujosuwito tidak jadi menjual Rumah, sampai saat ini Rumah tersebut masih ada, ditempati keluarganya. Masih ada cerita lagi tentang Bapak  Pujosuwito : Bapak Pujosuwito beristrikan Ny.Pujosuwito nama istrinya penulis tidak tahu, Dari perkawinan mereka berdua tidak di karuniai anak, Bapak  Pujosuwito pasrah kepada Tuhan karena tidak mempunyai keturunan. Pada suatu hari waktu menghadap Panutan tiba-tiba Panutan berkata:” Nak Pujo, Ditrimak-trimakake, saiki ora nduwe anak, sok rong atus Tahun meneh, Rak diparingi” artinya : “Nak Pujo, sabar, diterima apa adanya, sekarang tidak mempunyai anak, nanti dua ratus tahun lagi, pasti di karuniai anak” Bapakl  Pujosuwito diam tertunduk mendengar kata Panutan tersebut, dalam hati dua ratus tahun lagi akan mempunyai anak, hitung punya hitung kira-kira nanti tahun 2150 dia akan hidup si dunia, dan di beri anak, coba saja para pembaca mohon kepada Tuhan, sekitar tahun 2150 ada ada kejadian apa ? apakah kita kira-kira juga hidup lagi (Reinkarnasi), hanya Tuhan yang Kuasa.
          Kita kembali ke judul semula, rencana pembangunan,” Astana Waja” (makam Panutan dan Ibu Panutan) beserta Pembangunan “ Balesuci Agung Gedhong Pran Soeh Tlaga Maharda “. Perlu dijelaskan apa yang dinamakan Balesuci Agung Gedong Pran Soeh. Tempat itu disebuah bangunan besar berupa pendapa berbentuk Joglo (adat Jawa) terdiri dengan tiang bejumlah duabelas tiang semua dari bahan kayu jati pilihan, bahkan soko guru induk asalnya dari satu pohon, kerangka lainnya juga bahan dari kayu jati yang sangat tua (Ratusan Tahun umurnya). Tempat itu kalau di alam bathin tempat suksma manusia yang sudah sempurna (Ikut Utusan Tuhan). Kalau alam lahir (dunia) tempat tersebut  khusus untuk sembahyangan (berdoa) dan Balesuci Agung Gedong Pran Soeh kalau dari dalam terlihat hanya satu ruangan akan tetapi kalau dilihat dari luar (dari jauh) tampak rumah Pendapa berderet tiga (disesuaikan dengan ilmu tiga perangkat).
          Astana Waja : Tempat bersemayamnya  (makam) Romo panutan dan Ibu Panutan, terletak di Utara Bale Suci Gedong Pran Soeh (berdekatan). Astana Waja dan Bale Suci Gedong Pran soeh, sebetulnya posisinya terletak di atas Tlaga Maharda. Dalam posisi lahir, Tlaga Maharda berupa kolam kecil tetapi kalau dilihat di alam Ma’Rifat berupa lautan yang tidak ada tepinya, tempat rajanya nafsu, yaitu Wahyu Sejatining Kakung / Putri, juga tempat suksma manusia yang tersesat, jelasnya Tlaga Maharda tempat Hawa nafsunya Panutan (Romo Resi Pran Soeh Sastrasuwignyo). Tlaga Maharda di timbun, diatasnya berdiri tempat suci berupa ASTANA WAJA dan Bale Suci Gedong Pran Soeh, dengan tujuan supaya angkaramurka harus di bawah Kesucian (di timbun). Bangunan Astana Waja berupa bangunan beton bertulang berbentuk Piramide dengan pintu terbuat dari baja, tidak seorangpun boleh masuk kecuali satu Keturunan Panutan, Dan Orang-orang katam yang bersih (bersih dalam kurun waktu 11 (sebelas) hari harus dapat bertemu salah satu ilmu tiga Perangkat) Atau sebelum Ziarah orang katam tersebut harus mohon izin dulu lewat mimpi, diperbolehkan tidak ziarah ke makam Romo dan Ibu Panutan tersebut, orang yang belum Katam sama sekali tidak di izinkanZiarah. Bale Suci Gedong Pran Soeh Tlaga Maharda di jaga seorang Juru Kunci pilihan (harus ditugaskan langsung dari Tuhan lewat mimpi) Karena tempat tersebut tidak sembarang orang berani, Karena angker (sakral). Semenjak berdiri hingga sekarang tempat suci tersebut di jaga oleh Bapak Suromujono, beliau langsung  di tugaskan oleh Romo Panutan (pada waktu Romo Panutan masih ada di dunia).
          Posisi Tlogo Maharda yang berupa kolam (seperti  kolam renang) terletak besebelahan dengan Makam Panutan (sebelah Timur makam Panutan). Begitu sekilas gambaran tentang tempat suci yang terletak di desa Jagalan, Muntilan, Jawa Tengah,Indonesia.
          Sekarang Penulis baru akan bercerita awal mula berdirinya : ASTANA WAJA Bale Suci Gedong Pran Soeh, Tlaga Maharda. Yang sebetulnya ketiga nama tesebut tidak boleh dipisahkan di alam dunia akan tetapi, kalau dialam mimpi , disana dunia halus yang tidak ada batasnya. Sebab disana terlihat alam akhir (juga disebut alam Purwa). Tempat Tuhan Yang Maha Esa, ada alam antara (tempat pengadilan suksma-suksma) dan ada pula alam hukuman/alam siksaan, oleh karena itu setiap pengunjung harus jelas tujuannya  anggota kadang golongan atau bukan, kalau hanya ingin iseng –iseng (coba-coba) sangat riskan.
          Pada suatu saat Panutan yang sedang duduk di hadapan beliau murid-murid  banyak sekali yang sedang menghadap, tiba-tiba beliau berkata :” Aku iki wis tuwa banget, iha wong besok 30 September 1953 iki umurku wis genep 85 tahun, Ibu mu uga wis widakan tahun, etungku yen orakleru, suk semana olehku dadi carik wis 56 (skeet enem tahun) “ Setelah beliau berkata begitu, para murid sudah tanggap, mengerti apa yang dimaksud kata-kata Panutan tadi. Oleh karena itu setelah menghadap Panutan tadi murid-murid segera mengadakan pertemuan, hasil pertemuan di simpulkan, segera membangun makam Panutan dan Ibu Panutan, di putuskan perletakan batu pertama bersamaan dengan hari lahir beliau, yaitu hari Rebo Pahing 30 September 1953. Hari itu bertepatan dengan hari Panutan yang ke 85 tahun (Tumbuk Yuswa) Tumbuk Yuswa  maksudnya hari dan Tanggal lahir jatuh sama pada waktu itu, dan itu tejadi pada orang yang mencapai umur 85 tahun atau lebih untuk mencapai Tumbuk Yuswa manusia seumur hidup hanya satu kali, oleh karena itu oleh panitya merencanakan orang tersebut dibuat semeriah mungkin dengan pagelaran Wayang Kulit, dengan mengundang para pembesar/Pejabat Pemerintah dan teman-teman Panutan. Dana untuk acara tersebut di tanggung oleh para murid-murid Panutan secara Bergotong-royong. Tempat tinggal Panutan diminta sebagai pusat acara tersebut.
          Rencana tersebut segera di laporkan kepada Panutan, dan Panutan setelah mendapatkan laporan tentang rencana tersebut Beliau sangat gembira, bahkan Panutan akan membantu apa yang diperlukan panitya tersebut. Kemudian Panutan menyediakan Tanah untuk rencana Pembangunan tempat Suci tersebut, yaitu sebidang Sawah milik Panutan sendairi.
          Sawah tersebut, sudah ada danau keccil dan batu-batu alam seperti bukit (puntuk/geneng) danau tersebut oleh Panutan di namakan “ Tlaga Maharda “ Artinya Telaga. Maharda bahasa Jawa singkatan dari Maha-harda, Maha artinya Besar, Harda artinya Nafsu, jadi kalau disimpulkan maksudnya Nafsu yang sangat besar. Pusatnya Nafsu yaitu tempat tinggalnya Wahyu Sejaning Kakung/Putri/juga Hawa Nafsunya Romo Resi Pran Soeh Sastrosuwignyo, diatas sudah penulis singgung, Tlaga Maharada meskipun luasnya tidak seberapa, di alam halus merupakan Samudra luas tanpa tepi, orang bisa bermimpi melihat Tlaga Maharda, apa lagi sampai tercampur kedalamnya, tinggal menunggu waktu ajalnya, kecuali bisa bermimpi bertemu dengan Suksma Sucinya Romo Panutan (Utusan) orang tersebut akan selamat, akan tetapi kalau dalam kurun waktu tiga sampai tujuh hari tidak bisa bertemu Suksma Sucinya Romo Panutan, atau Suksma Nabi Nuh, Nabi Adam, Nabi Isa, Nabi Muhamad. Sunan Kalijaga, laga Sultan Agung dari Mataram dan Nabi-nabi yang lain ( yang sebetulnya hanya satu) orang tersebut yang mimpi tercebur di Tlaga Maharda (Samudra pati) tinggal menunggu waktu ajalnya dan Suksmanya pasti ikut hawa nafsunya Romo Rps Sastrosuwignyo (iya hawa nafsunya Nabi-nabi tersebut diatas, sebab wujud hawa nafsunya Nabi tersebut sama.
          Tlaga Maharda yang di urung (di timbun) yang menjadi tempat bersemayamnya Panutan (Pesareyan Panutan) yang disebut Astana Waja yang maksudnya Makam yang kuat (Pesareyan Kang Kuat) adalah Pusaka yang akan menjadi pusat umat manusia untuk mencari bekal menghadap Tuhan, dengan ingat Astana Waja manusia akan ingat siapa yang ada di dalamnya disitu bersemayam Guru Agung yang telah bisa menggali tabir Rahasia bagaimana bisa menegerti sampai rinci, bagaimana manusia bisa menebus dosa sebelum ia mati, bagaimana manusia bisa bertemu dengan Utusan Tuhan, bagaimana manusia bisa mengenal dirinya sendiri (Saudara kembar) yang pada akhirnya kalau manusia tekun akan bisa mengenal Tuhan, bagaimana manusia bisa membedakan antara Suksma dan Nyawa, yang akhirnya Suksma ikut siapa? Nyawa ikut siapa? Dan Raga (jasmani) Kemana?
          Tentang Bale Suci Agung Gedong Pran Soeh Tlaga Maharda, disitu ada kata Agung artinya disitu memang pusatnya tempat kesucian, disitu berkumpulnya suksma-suksma manusia yang mati Sampurna. Tlaga Maharda tidak bisa dipisahkan karena baik secara lahir maupun Bathin, Bale Suci Gedong Pran Soeh memang diatas Tlaga Maharda posisinya. Diatas penulis lupa memberi penjelasan tentang perkataan Romo Panutan pada waktu duduk di hadapan murid-muridnya, Beliau mengingatkan murid-muridnya bahasa Jawa yang artinya begini “ Saya sudah lanjut usia, besuk tanggal 30 September 1953, umurku sudah 85 tahun, Ibumu juga sudah 60 tahun. Saya menghitung menjabat Carik sudah 56 tahun “. Itu tadi yang  penulis lupa menterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Itulah yang menggugah murid-muridnya, lalu merencanakan pembangunan Makam untuk Panutan dan Ibu. Pelaksanaan upacara peletakan batu pertama Pembangunan Makam Romo Panutan berjalan lancar sesuai dengan perencanaan panitya. Rumah Panutan sampai lokasi tempat makam yang akan dibangun yang berjarak -+ 500 meter, dipajang-pajang berbagai umbul-umbul dan hiasan-hiasan lainnya, yang menambah semarak dan suasana, Disebelah kiri dan kanan jalan menuju pusat Upacara masih berupa areal persawahan yang indah. Tamu-tamu Pembesar Pemerintah juga hadir. Jurnalis/Pers juga hadir dari perguruan tinggi gajah Mada Yogyakarta hadir juga para Mahasiswa, Prof.Jayadiguna (Rektor Universitas Gajah Mada) hadir dalam acara tersebut, para siswa Sekolah banyak yang heran menyasikan acara tersebut.
          Acara di mulai dengan sembahyangan ala Kadang Golongan (dengan bahasa Jawa), kemudian Bapak S.M.H. Sirwoko menjelaskan hal-hal yang behubungan dengan Ulang Tahun yang ke 85 Romo Panutan, serta perletakan batu pertama pembangunan Makam Panutan dan Ibu, setelah itu seni Panembrama (semacam paduan suara yang di iringi gamelan Jawa) dengan mengalunkan Gending “ Tri Pusara Mudha “, Sejarah panutan di bacakan oleh Bapak Darmawasita, kemudian Kidung Mujilanggeng setelah itu pagelaran Wayang Kulit semalam Suntuk dengan lakon (judul) “ Lahirnya Bambang Gunung Rama Pran Soeh”, yang menggambarkan lahirnya Panutan (Raden Gunung), di dalam cerita Wayang Kulit Raden Gunung diganti dengan Bambang Gunung, menurut keterangan para Sepuh yang sekarang masih hidup dan pada waktu itu ikut menyaksikan pada malam keramaian tersebut, penonton memenuhi tempat tinggal Panutan dan sekitarnya.
          Pada pagi harinya Tanggal 30 September 1953, Rama Panutan/Ibu para ketua kelompok dan murid-muridnya serta anak cucu menuju kelokasi peletakan batu pertama pembangunan Astana Waja. Setelah sembahyangan Romo Panutan mengambil batu pertama yang jadilah pondasi bangunan, kemudian Panutan besemedi (berdoa dulu), kemudian dengan dibantu para sahabat di mulailah memasang batu kali tersebut. Seterusnya di lanjutkan murid-murid terdekat, kemudian pekerjaan selanjutnya di teruskan oleh para tukang batu. Perlu dimengerti bahwa Romo Panutan sampai langsung terjun mengawasi pekerjaan pembangunan, karena makam tersebut kalau di hayati secara bathin bukan tempat sembarangan. Apalagi selain makam Beliau dan Ibu Panutan juga ada Bale Suci Gedong Pran Soeh Tlaga Maharda yang telah penulis sebutkan diatas, bahwa tempat-tempat tersebut tempat semua makhluk /umat baik yang Sampurna maupun tersesat disitu (kalau di lihat dialam halus).
          Oleh karena itu Romo Panutan harus turun tangan sebab tempat tersebut memang pusaka umat manusia seluruh dunia.
          Setelah perletakan batu pertama menurut urutan acara, Romo Panutan semestinya harus memberikan kata sambutan, namun begitu melihat murid-murid yang mengikuti upacara tersebut sampai beribu-ribu jumlahnya, Romo Panutan tidak bisa bekata sepatah katapun beliau menangis terharu, padahal biasanya kalau sedang memberi wejangan murid-murid nya, semangatnya luar biasa dan sangat menyenangkan bahkan di hadapan Presiden Landraad (waktu jaman Belanda). Tidak pernah gentar apalagi keder. Romo Panutan tidak bisa bicara karena terharu , pertama Beliau terharu melihat perkembanganpara siswa menjadi beribu-ribu yang hadir apalagi kalau semua murid bisa hadir semua, menurut Survey pada waktu itu sudah jutaan orang. Kedua Romo Panutan teringat masa lalu, ketika masih kecil, Remaja,dewasa, sampai saat ini menjadi besar karena ketaatan, kesetyaan menjalankan petunjuk dari Tuhan, dan hasilnya bisa menyelamatkan umat manusia dari cengkraman angkara murka, dan terlebih-lebih manusia mempunyai metode hubungan langsung dengan Tuhan,yang selama dunia ini ada, manusia hanya percaya kepada dongeng, cerita dan katanya. Disamping Panutan teringat masa lalu yang penuh penderitaan tetapi sangat indah, karena perjuangan dan pengabdian kepada Tuhan Romo Panutan sedih melihat masa depan yang akan terjadi (sebab Panutan melihat semua yang akan terjadi ). Pada saat Pak Atmo Wiharja menghadap ( murid setya juga pengurus kelompok dari Gunung Kidul ) Romo Panutan memberi pesan kepada Pak Atmo Wiharjo : Mbesok tahun 1965 Sembahyangan Leren ndisik Yaa! maksudnya,” Nanti tahun 1965, Sembahyangan berhenti dulu yaa ! “ Pak atmo Slamat bingung tidakbisa memecahkan sabda Romo Panutan tersebut, dia dengan harap-harap cemas, baru setelah tahun 1965 mengerti ada peristiwa 30 September tersebut, anehnya bertepatan dengan hari lahirnya Romo Panutan, pada tahun itu kadang golongan dilarang berkumpul .
          Melihat Sang Guru menangis dalam waktu cukup lama, akhirnya SMH.Sirwoko mengambil alih sambutan Panutan, sekaligus mewakili keluarga, anak, cucu Romo Panutan, dalam sambutan SMH.Sirwoko atas nama Panutan menyampaikan ucapan banyak terima kasih atas kasih sayang anak/cucu, murid-murid semua yang telah bergotong Royong menyiapkan calon makam Romo Panutan/Ibu. Mendengar kata sambutan Bapak SMH.Sirwoko tersebut murid-murid dan semua yang hadir semakin terharu dan sampai mengeluarkan air mata, karena sebetulnya murid-murid merasa berhutang budi kepada Romo Panutan karena selama ini kebaikan Romo Panutan tidak sebanding atau belum terbayar dari para murid-muridnya, dan tidak akan terbayar dengan apapun kebaikan Panutan terhadap murid-muridnya. Andai kata bisa membayarpun paling bagus hanya menepati angger-angger 11 (sebelas) yang berisi  4 (empat) larangan dan 7 (tujuh) kewajiban, itupun kalau bisa, andaikata bisapun sebetulnya itu hanya untuk kebutuhan pribadi murid-muridnya bukan untuk kepentingan Romo Panutan.
          Pada sambutan selanjutnya. Darmawasitao yang mewakili para murid dan juga anak cucu mengatakan : menyampaikan ucapan terima kasih yang sangat mendalam kepada Romo Panutan, karna selama ini murid-murid yang tadinya hampir tidak mengerti jalan, dibimbing, dibela dari jalan yang gelap menuju pencerahan hidup lahir/bathin. Kemudian Darmawasito menyerahkan secara sembolis dua fulpen kepada SMH.Sirwoko dan Martasudarsono, sebagai harapan supaya segera membuat Buku pedoman tentang penghayatan Ilmu Tiga Perangkat segera di wujudkan,yang nantinya akan di tanda tangani oleh Panutan.
          Kejadian acara ulang Tahun yang ke 85 Panutan beserta pembangunan Makam (Astana Waja ) beritanya tersebar  kemana-mana, sehingga menambah semangat pengabdian murid-murid untuk membuktikan adanya ilmu Tiga Perangkat bagi mereka yang belum Katam, Namun tidak semua orang senang dengan perkembangan ajaran Ilmu Tiga Perangkat, sebab banyak yang tidak paham, tidak mengerti, tidak mau mengerti dan tidak butuh mengerti, atau mungkin kalau semua orang menjadi baik budhi pekertinya kemungkinan ada pihak-pihak yang merasa di rugikan, terbukti dengan adanya penyelidikan dan penelitian dari berbagai golongan terhadap ajaran Ilmu Tiga perangkat. Sudah barang tentu secara tidak langsung para peneliti akan mendapat pendidikan budhi pekerti , karena angger-angger 11 (sebelas) sudah cukup jelas, standar manusia hidup untuk kembali menghadap Tuhan yang seperti itu, sebab tanpa bersandar kepada angger-angger 11 (sebelas), tidak akan mungkin manusia kembali ke Tuhan. Setelah angger-angger 11 (sebelas) dipraktekan baru mencari ilmu Tiga Perangkat Yaitu : 1.Suksma utusan 2. Cahaya Tuhan 3. Wujud Nyawa kita sendiri atau disebut Hawa Nafsu kalau dalam Seni Pedalangan Dewa Ruci kita masing-masing.
          Makin hari perkembangan murid-murid (Kadang Golongan) semakin banyak sehingga Ibu Panutan kerepotan melayani tamu-tamu tersebut, banyangkan setiap tamu pasti deberi hidangan dan itu setiap hari, dengan jumlah yang cukup banyak. Panutan pernah berkata “ Aku bisa mencarake Lelakon Semene Jembare, kuwat mencarake Kesucian, kuwi Saka Kasetyane Ibumu, olehe tansa Saguhdak ajak ngermbuk anak putu ewon-ewon, seprana seprene”. Artinya “ Saya bisa mengembangakan kesucian, karena Ibumu Setya mendukung saya, Dia selalu siap diajak mengurusi anak/cucu yang ribuan jumlahnya, Selama ini “Ibu Panutan memang  orang yang berbudi luhur, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari Beliau berdagang dan sangat cermat hemat teliti menyimpan dan mengamankan hasil bumi dari Pertanian. Karena setyanya mendampingi Panutan dalam suka maupun duka di dalam di dalam seni Wayang Kulit (Gubahan SMH.Sirwoko) Ibu Panutan diganti nama : Sri Suwengsih dalam lakon Wayang Kulit Bratalaya Janji, maksud nama tersebut penjelmaan Sri yang Kasih Sayang terhadap Siwi (anak). Sebetulnya Ibu Panutan ada sikap yang aneh terhadap Romo Panutan, dia sering tidak percaya kalau suaminya (Romo Panutan) di utus oleh Tuhan menyebarkan ilmu suci (menjadi penengah semua ilmu dan keyakinan manusia yang ada di dunia), mungkin sudah kodrat barangkali. Akan tetapi Ibu Panutan cepat mengerti dan parcaya, karena semua yang di katakana Panutan sebelumnya, akhirnya terbukti cocok, dan tidak pernah meleset sedikitpun, yang akhirnya ibu tetap setya kepada Panutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar