Rabu, 16 Mei 2012

BAB XVI AGRESI KE II 19 DESEMBER 1948 BELANDA MENYERANG NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Romo Panutan memberi pengarahan dan nasehat kepada para murid-muridnya dalam kurun waktu 40 hari ini pasti ada kejadian yang sangat gawat, kemudian disusul lagi 11 (sebelas) hari lagi akan terjadi sesuatu, dan murid-murid diperintahkan untuk mempersiapkan segala sesuatu terutama mental (bathin) harus kuat, pikiran harus jernih dan waspada, semua murid diperintahkan untuk mohon supaya bisa bertemu dengan juru selamat (utusan).
Ternyata betul terjadi para ketua kelompok di Gunung Kidul Sleman, Kedhu ditahan, termasuk Martoasanara anak mantu Romo Panutan, mereka ditahan karena fitnah. Belanda menyerang Yogyakarta (Ibu Kota Republik Indonesia) dengan kendaraan lapis baja dan pesawat-pesawat tempur dan pasukan infantri, sebentar saja Yogyakarta dikuasai penjajah. Presiden dan wakil Presiden serta para menteri ditahan dan dibuang ke Prapat (Sumetra Utara). Tentara Nasional Indonesia dibantu Laskar Rakyat bahu membahu mengadakan perlawanan dengan bergeriliya.
Romo Panutan dikabarkan sudah ditahan, bahkan ada berita kalau Panutan sudah dibunuh oleh alat pemerintah, ternyata berita itu setelah di cek oleh murid-murid adalah bohong, Panutan masih segar bugar. Beliau juga tahu kalau beberapa anak dan cucu serta sebagian muridnya ditahan oleh serdadu Belanda.
Hubungan telepon Yogya-muntilan magelang putus. Esok harinya pemerintah kabupaten Magelang mengadakan Rapat dihadiri seluruh Pamong Praja Kawedanan Muntilan, bertempat dikantor kewadanan juga hadir asisten  wedana, tidak ketinggalan Romo Panutan karena beliau menjabat Carik Desa Jagalan. Semua peserta rapat tidakada yang tahu situasi di Ibukota Yogyakarta, seba hubungan telepon putus, yang tahu situasi dunia hanya Romo Panutan, oleh karena itu sebelum rapat dimulai Romo Panutan berkomentar : “ Punika rapat badhe ngrembak punnapo, kula nnyaosi priksa, ngayogya sampun dipun broki walandi, Bung Karno lan Bung Hatta sampun kebekta, kula badhe ngungsi, mangke siang walandi bade mriki, mangga kemawon menawi badhe nglajengaken konprensi !” Panutan langsung pulang.
Konfrensi dibubarkan sebab semua sudah menyaksikan berkali-kali , beberapa kejadian yang dialami di daerah tersebut ,sebelumnya Romo Rps Sastrosuwigyo, selalu memberi peringatan dan selalu tidak pernah meleset, bahwa akan terjadi   musibah. Romo Panutan sekalipun sudah tahu apa yang akan terjadi, beliau beserta keluarga tetap mengungsi sebab, untuk menjaga hal-hal yang bisa menimbulkan kecurigaan macam-macam terutama dari pemuda-pemuda Pejuang dan alat-alat kekuasaan Negara, beliau memilih membaur dengan rakyat di pegunungan di lereng Merapi. Panutan mengungsi di desa KERON di rumah Bapak Mulyarejo (murid yang setya). Pada waktu berangkat kepengungsian berjalan kaki Panutan memakai celana pendek (gembyong) baju tak berlengan warna hitam ikat kepala(destar) model maduran, Panutan juga membawa layangan bapangan yang sangat besar di gendong di belakang, orang-orang tetangga dan orang-orang yang berpapasan dengan beliau pada heran melihat perilaku panutan yang sangat aneh tersebut. Ditengah perjalanan bertemu dengan para serdadu Belanda di tengah sawah, sudah tidak bisa menghindar karena yang dilewati hanya jalan setapak, serdadu Belanda tadi hanya tersenyum tidak ada yang bertanya kepada Panutan. Daerah Muntilan langsung terjadi pertempuran antara Belanda dan TNI(di bantu para pejuang). Desa Keron mengalami kerusakan karena kena sasaran peluru meriam Belanda yang tidak terhitung. Rumah Bapak Mulyorejo bersebelahan dengan saudara kandungnya(beragama Katolik). Rumah saudara kandungnya kena sasaran peluru Belanda dan di acak-acak/dirusak oleh serdadu Belanda, sedangkan rumahBapak Mulyarejo yang di dalamnya ada Romo Panutan sekeluarga aman-aman saja, lain halnya dengan murid-murid yang disitu, karena melihat serdadu Belanda yang terkenal bengis semua merasa ketakutan dan gemetar. Panutan lalu menghibur murid-muridnya “Aja ndredheg, aku ora weruh, kiraku rak kana ora weruh kene/aku.” Artinya : “jangan takut  jangan gemetar, sepertinya mereka tidak melihat kita sebab saya juga tidak melihat mereka”. Para serdadu Belanda tadi tidak masuk rumah Bapak Mulyorejo mereka terus pergi. Pada waktu itu, NYI MARTAASMARA sedang hamil tua(dulu bernama Rr.Wening). Supaya keluarga tenang /tenteram, Panutan dan keluarga pindah ke desa Bandung Paten(lereng Gunung Merapi sisi barat laut) di rumah Bapak Ali termasuk murid setya. Ditempat pengungsian di lereng gunung Merapi tersebut banyak murid-murid yang sering menghadap Panutan, disaat itu mereka mendapat gemblengan ilmu kebatinan dari Panutan, kebanyakan murid-murid yang datang dari desa-desa, Tlatar, Kragawanan, Sawangan, Sewukan, Srumbung, dan wilayah sekitarnya. Panutan juga membantu alat Pemerintah yang sedang bahu-membahu mengusir angkara murka(Penjajah) dimana Belanda berada,  Panutan selalu memantau dan membantu para Pejuang dengan cara Romo Panutan sendiri (yang manusia umum tidak paham, kecuali murid-murid yang setya yang mengetahui).
           Bapak S.M.H.Sirwoko dan Bapak Darmowasito dua orang sahabat Panutan yang terpercaya, mencari Panutan dengan berjalan kaki sambil menghindari blokade Belanda, dari Gunung Kidul menuju lereng Merapi +- 100 km, itupun sambil sembunyi, dengan mengenyampingkan keselamatan sendiri, juga meninggalkan keluarga, mereka berdua berusaha keras mencari Sang Guru Agung (Panutan) sudah barang tentu mereka berjalan berdasarkan petunjuk, sebab kedua orang tersebut bukan orang sembarangan (setya dan bersih). Akhirnya bisa bertemu di desa Bandung Paten, Panutan setelah melihat kedua sahabat tadi langsung menangis, sampai lama Beliau tidak bisa berbicara karena sangat terharu melihat kesetyaan kedua murid tersebut. Semua yang hadir turut menangis. Bapak  Ali menghibur Panutan,supaya berhenti menangis dan pergi ke Sendang (air mancur) untuk membersihkan muka, supaya segar badannya. Barulah Panutan mulai memberikan wejangan-wejangan meskipun suaranya masih terputus-putus karena belum bisa menghilangkan rasa harunya.Bapak  SMH.Sirwoko sudah puas, dan hilang rasa rindu kepada Panutan, terus meninggalkan Bandung Paten maklum Beliau seorang Pejuang pasti bergabung ke induk Pasukannya.
          Romo Panutan mendapat petunjuk dari Tuhan, bahwa setiap Beliau timbul di dunia selalu diikuti pengikut tadi oleh karena itu, Beliau menggambarkan dalam seni pedalangan kedua murid tadi yang satu digambarkan sebagai “ Burung Manyar Putih Bersih “ yang disebut “ Manyar Seta “ yang satunya Harimau Putih “ yang satu sebelah mata kirinya buta “, yang diberi nama “ Ditya Ganggaskara”.
          Panutan di seni Wayang Kulit disebut dengan “Resi Brotonirmoyo” Seorang Pendhito Sangat waskita dari “Sonya Gumuruh”. Belanda akhirnya di tarik dari kota-kota besar di Indonesia (Hasil Konfrensi Meja Bundar), Panutan mengarang Gending, Lompong Keli dengan musik tambahan Angklung, Kemudian Panutan mengarang Gending berupa Tembang yaitu Tembang Dandang Gula, yang kata-katanya seperti dibawah ini:
Kemanisen Denira Mres Budi
Budidaya Supaya Kinarya
Karya Penglipur Brantane
Branta Ingkang Mamreskung
Ruming Kongas Pujo-pinuji
Puji Kang Paripurna
Nyirnaken Sekayun   
Kayun kang kautaman
Utamane marengga Sesami-sami
Sesamining Ngagesanga
Tembang yang singkat tadi yang menciptakan Guru Agung, Romo Panutan bukan ukuran (kemampuan) penulis untuk menafsirkannya itu Sastro dalam, bahasa Jawa yang jarang beredar di masyarakat, pada masa itu pun ungkapan tersebut tidak pernah keluar, antara baris satu dan baris di bawahnya saling berhubungan berbeda tembang yang penulis muat di sini, bahasa yang penulis pakai bahasa pasaran setiap orang jawa baik anak-anak maupun orang dewasa sangat paham. Akan tetapi penulis harus bertanggung jawab sebisa mungkin, meskipun tidak semua kata dalam tembang tersebut terjangkau mohon maaf atas kekurangan penulis : Kurang lebih artinya begini “ Sudah berusaha semaksimal (sebaik-baiknya/habis-habisan) Kita menghibur rasa rindu yang desertai kesedihan yang mendalam. Dalam hati selalu berdoa, Semoga cepat berakhir, membasmi angkara murka, kalau angkara murka lenyap, akan menuju ketentraman dan kedamaiaan sesama hidup”
Setelah tembang tersebut dipentaskan dengan gamelan tidak lama kemudian Bung Karno dan Bung Hatta (Presiden dan Wakil Presiden) debebaskan dari tahanan Belanda. Setelah Panutan mendapatkan sahabat dua yang tadi disebut di pedalangan. Manyar Seta dan Ditya Ganggaskara, Panutan mendapat murid baru Indo-Tionghoa namanya Ong Sioe Gien namanya. Ong Sioe Gien hobi berguru kebatinan, ilmu kebatinan apa saja banyak di pelajari sudah barang tentu guru-gurunya pun banyak, akan tetapi ujung-ujungnya tidak pernah puas, sebab ilmu tersebut rata-rata tidak ada standar yang baku juga tidak jelas, kebanyakan tidak bisa membuktikan kebenarannya selain itu daya gunanya sifatnya hanya sementara hanya berisi hafalan-hafalan yang muluk-muluk kalau ditafsir juga sulit di mengerti (jadi yang tahu isinya si pencipta lafal tersebut) orang lain pasti bingung karena susunannya di samping bahasa-bahasa dulu juga di bolak-balik. Supaya yang belajar banyak bertanya (tidak jelas), belajar ilmu kebatinan lulus dan tidaknya tergantung guru itu sendiri yang menentukan. Oleh karena itu Ong Sioe Gien merasa heran karena teman seperguruannya yang termasuk sudah senior dan ilmunya sudah termasuk jauh di atasnya tiba-tiba berubah haluan ikut menjadi anggota kadang golongan (O.M.M). Memang sudah dasarnya panggilan Ong Sioe Gien tidak lama mempelajari ilmu tiga perangkat langsung katam, beberapa kali dicoba (di test) oleh Panutan, Ong Sioe Gien cepat mengerti dan bisa membuktikan, kemudian diberi “Dunungan” dunungan atau penjelasan, adalah ilmu terakhir yang diberikan kepada setiap murid yang telah dinyatakan lulus dalam membuktikian adanya ilmu tiga perangkat, ilmu tiga perangkat tidak main-main daya gunanya, karena orang yang belajar ilmu tersebut, gurunya bukan manusia, jadi mereka berguru langsung kepada utusan Tuhan lewat alam gaib/Sasmita maya/alam mimpi juga di sebut alam Pasupenan, mereka di bimbing oleh seorang penyuluh yang didampingi dua atau tiga penyuluh yang lain, untuk menjaga kemurnian ilmu tiga perangkat tersebut. Sedangkan seorang yang disebut Penyuluh harus mempunyai Wahyu Penyuluh, sebab belum tentu seorang yang sudah Katam, menyebut dirinya sendiri sebagai Penyuluh sebelum mendapatkan petunjuk dari Tuhan, bahwa dirinya memang ada Wahyu Penyuluh, itupun harus di cek oleh Penyuluh yang lain (di mohon apa betul dia mendapat tugas sebagai Penyuluh), sebab dampaknya akan merugikan yang dibimbing kalau dia tidak mendapatkan tugas sebagai Penyuluh,akan tetapi memaksakan diri. Apalagi amalan ilmu ini tidak boleh sama sekali tidak boleh ditulis, untuk menghafalpun harus di hafal di tempat yang sepi, tidak boleh dihafalkan di dalam rumah atau di bawah pohon (pendek kata harus di alam terbuka tidak boleh terhalang apapun di atas kepala kita. Masih ada syarat yang baku: Seorang Pria, yang membimbing harus pria juga, begitu pula juga sebaliknya seorang wanita selalu dibimbing seorang wanita, kecuali suami istri, atau anak dengan orang tuanya boleh membimbing, saudara kandung seibu dan satu ayah juga boleh. Mertua/saudara ipar/Paman/Tante tidak boleh membimbing kecuali berjenis kelamin sama.
          Peraturan itu menjadi pedoman umat manusia sebagai upaya untuk membendung pengaruh nafsu/syetan yang konon kabarnya syetan itu, lubang jarum jahit pakaian manusia bisa masuk, karena saking lembutnya. Sejak Ong Sioe Gien Katam warga Tiong hoa, berduyun-duyun menghadap Panutan untuk belajar Marifat Romo Panutan memberi Petunjuk kepada murid Tiong Hoa tersebut : “ Padha golekana Sukmane Nabi Kong hucu, yen wis ketemu, tandingan kato aku, dedege lan jenggote pisan kocek piro? “ artinya begini :” Kamu semua mencari suksmanya Kanjeng Nabi Kong Hu cu, kalau sudah ketemu coba kamu bandingkan dengan saya bedanya,tingginya, selisih jumlah jenggotnya berapa?” 
          Setelah banyak yang menyaksiakan bahwa sebetulnya Nabi Kong Hu Cu adalah Romo Rps Sastrosuwignyo, mereka  rata-rata mempunyai kesetyaan yang luar biasa. Muri-murid Tiong Hoa sering menghadap Panutan, Kalau mempunyai keperluan apa saja, mohon restu dan mohon Panutan berkenan hadir. Pada suatu hari Ong Sioe Gien mempunyai hajatan khitanan (Sunat ajaran Islam), beberapa anak secara bersamaan disunat. Kyai-kyai bekas gurunya dan para Kyai temen Ong Sioe Gien juga di undang untuk memberi berkah lebih-lebih Panutan paling utama yang di undang. Panutan hadir karena tidak mau membuat kecewa siapapun.
          Sebelum sunatan di mulai orang tua anak-anak tersebut minta anak-anaknya sungkem (seperti menyembah ala kerajaan) yaitu mencium kaki/lutut Kyai-kyai tersebut,satu dua Kyai sudah dicium kakinya oleh anak-anak yang akan di sunat tersebut, begitu giliran Romo Panutan akan di cium kakinya, Panutan tidak mau (menolak di cium kakinya), lalu beliau bilang “ Yenngabekti lan nyembah kuwi,marang Gusti Allah bae,aja marang aku,awit aku dhewe manungsa lumrah, kang kasinungan : apes, badho, sengkeng sarta lalilan aku dhewe manembah mareng Gusti Allah”, artinya “ Berbakti dan Menyembah itu kepada Gusti Allah saja, jangan kepada saya, sebab Saya ini hanya manusia biasa, yang banyak mempunyai kelemahan, misalnya, bisa kena musibah, bodoh, lemah, pelupa, dan Saya sendiri juga menyembah Kepada Tuhan”, Para tamu mendengar ucapan Panutan semua heran, lebih-lebih anak-anak semua bingung dan berhenti sungkem (menyembah),  yang mengherankan semua tamu yang ada seperti kena perbawa dari perkataan Panutan tadi, dan menghadap kearah Panutan. Pada malam berikutnya diadakan pagelaran Wayang kulit semalam suntuk dengan dalang dari Kadang golongan yaitu Joyowiyoto (Joyo Kandar) Dari desa Tingal. Borobudur, dengan judul lakon “Pandawa Racut” hasil gubahan Panutan sendiri. Tamu banyak bangsawan/Pejabat Pemerintah dan para ahli Pedhalangan. Panutan juga hadir menonton pagelaran tersebut di damping para murid terdekat,Darmowasito sebagai pemandu pagelaran tersebut, memberikan penjelasan jalan cerita lakon tersebut, yang memang berbeda dengan lakon (judul) yang biasa dipentaskan oleh dalang-dalang umum. Yang menjadi pebedaan yang sangat kontras adalah, Ketika Werkudara (Bima) Racut  (Sukma pisah dengan Nyawa), Dewa Ruci yang wujudnya Werkudara (Bima) kecil,di anggap musuh. Untuk  pemahaman umum Dewa Ruci yang wujudnya menyerupai Werkudara (Bima) tadi adalah Tuhan dari Werkudara, jelasnya Dewa Ruci Tuhan dari semua umat Manusia, (Pengertian semua pecinta Wayang Kulit dan ahli Pedalangan), padahal wujudnya menyerupai diri kita sendiri tetapi disitu di gambarkan lebih kecil (Dewa Ruci =Bima tapi Kecil).
          Dalam hal ini Darmawasita memberi penjelasan kepada penonton, penjelasan Darmawasita tadi 100% betul meskipun masyarakat umum mungkin belum bisa menerimanya sepenuhnya, dan sampai sekarang dalang-dalang umum juga tetap memakai pakem yang salah tadi, akan tetapi tidak mengapa sebab itu hanya besifat seni, semua tidak akan memaksakan kehendak, semua berjalan aman dan nyaman sampai sekarang. Darmawasita melanjutkan penjelasan pada pagelaran wayang Kulit dengan judul Pandawa Racut “ (Racut artinya Nyawa berpisah dengan Sukma) “.
          Dewa Ruci yang dianggap Tuhan dari Werkudara tadi salah, wujudnya memang Werkudara Fisiknya lebih kecil dari Werkudara semuanya sama, pakaiaan, penampilan hanya sikap perilaku memang berbeda. Dewa Ruci tadi sebelumnya berwujud Naga Tasik yang berhasil di dibunuh oleh Werkudara, musuh tetap musuh, sekalipun Naga Tasik sudah berubah menjadi Dewa Ruci, dia tetap musuhnya Werkudara, kenapa Naga Tasik berubah menjadi Dewa Ruci ? Itulah puncak dari kekalahan total dari musuh Werkudara dia memperlihatkan wujud aslinya meskipun postur tubuhnya lebih kecil, tapi sempurna. Kalau Dewa Ruci di anggap Tuhan itu pemahaman yang terbalik, masa Dewa Ruci yang tadinya berupa ular Raksasa (Naga Tasik) musuh Werkudara di anggap Tuhan.  Kalau Tuhan itu sifatnya kasih sayang,sejuk,melindungi,dan tidak menimbulkan marah. Lagi Penulis membaca contoh : Pantadewa kakak dari Werkudara (Jenis Kelamin Pria). Bertemu Pantadewa kecil  itu Dianggap Tuhan, logikanya Tuhan ada dua, yang satu Dewa Ruci kecil, yang satunya lagi Pantadewa kecil, lalu Harjuna (adik dari Werkudara ) pasti mempunyai Harjuna kecil, jadi Tuhan sudah ada tiga, ketiganya laki (Pria semua). Dewi Kunti ibu para Pandawa (Wanita) Srikandi istri Harjuna, bertemu masing-masing Dewi Kunti kecil dan Srikandi kecil, keduanya dianggap Tuhannya Dewi Kunti dan Tuhannya Srikandi. Total Tuhan sudah ada lima , tiga pria dan dua Wanita, Bagaimana dengan penduduk dunia yang sekarang sudah mencapai lima Milyar? Apakah Tuhan juga berjumlah lima Milyar terdiri dari laki-laki dan Perempuan ? hanya murid-murid Kadang golongan yang paham dengan kenyataan tersebut, meskipun mungkin sulit untuk merubah pemahaman tersebut, penulis berharap umat manusia untuk menyadari kekeliruaanya, sayang kepada siapapun yang pernah bertemu dengan Saudara kembar kita lalu disebut Sang Guru Sejati apalagi sering dimintai tolong untuk kepentingan dunia, setiap hari kita minta tolong, kita berhutang kepaada Saudara kembar kita, kalau kita mati pasti bergantian kita yang melayani dia (menjadi budak dia) karena memang kita berhutang banyak dengan dia dan kita tidak/belum mampu membayarnya. Kita bisa membayar lunas hutang kita kalau bertemu Pertama Utusan, Kedua Cahaya Tuhan, artinya hutang kita lunas, dan membayar dilakukan sewaktu masih hidup, sebab kalau sudah mati, sudah tidak ingat kalau mempunyai hutang, mudah-mudahan dengan penjelasan yang sederhana ini pembaca berkenan untuk merubah pandangan yang keliru, Penulis kurang paham mungkinkah di benua Amerika,Di Benua Eropa, di benua Afrika,di benua Australia, juga di Negara-negara Asia ada yang mempelajari tentang mimpi ? andaikata ada pernahkah pembaca bermimpi melihat dirinya sendiri ? bukan di cermin lho ! Kalau memang ada, pernah bermimpi seperti itu, bilamana ingin memperdalam dan ingin mempelajari kehidupan setelah mati, anda silahkan kontak lewat  Email, mungkin Penulis bisa membantu, kalau pembaca berminat, sebab mimpi melihat diri sendiri, addalah ada harapan mengenal Tuhan. Ingat Tuhan hanya satu .
          Kita kembali ke pentas wayang Kulit diatas, Romo Panutan memberi petunjuk kepada para murid dalam pagelaran Wayang Kulit Yang telah dibeberkan pada tulisan diatas memang berbeda penafsiran, dalam judul wayang Kulit sama, akan tetapi karena khusus dalam ajaran ilmu tiga Perangkat disatukan dengan kenyataan di alam bathin. Pada waktu itu masih dalam suasana di alam Penjajahan. Romo Panutan memberi petunjuk supaya musik pengiring ada dua macam yang biasa perangkat gamelan, yang kedua musik (Jass Band). Sehabis tengah malam (gara-gara) istirahat sebentar untuk makan bersama, sehabis makan bersama Pagelaran Wayang Kulit baru boleh dimulai lagi. Karena ini merupakan petunjuk dari Panutan, (murid-murid semua berfikir, pasti ada peristiwa penting yang akan terjadi) sebab biasanya wayang Kulit tidak memakai musik (Barat) apalagi tengah malam harus makan bersama, sebab kebiasaan makan malam dilarang untuk murid-murid (kadang golongan). Ternyata benar antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda ada perdamaian K.M.B ( Konfrensi Meja Bundar) di Nederland.
          Selanjutnya ada petunjuk dari Panutan kalau ada pertunjukan Wayang Kulit harus ada gending “ Emplek-Emplek Ketepu”. Kemudian dalam lakon tersebut, keluarlah sahabat-sahabat Panutan di dalam cerita Wayang Kulit yang bernama : Bratararas, Bratanirloko, dan Bratatriloko, ketiganya sahabat dari Resi Bratanirmaya (sebutan Panutan dalam pedalangan Wayang Kulit). Kemudian di sambung geding,” Re,Re,RE, Nandur Pare,marambat ngetan parane” artinya “ Menanam tanaman pare,menjalar kearah Timur”, ada salah satu murid yang memanjakan gending tersebut apa maknanya. Panutan member penjelasan: “ Pare kuwi Uwite, godonge, kembang Lan uwohe, pahit kabeh, diolah apa bae, Rasaneuga ajeg pait,sudaa mung sethi-thik, ewo semono ana kang karem,sing ngati-ati pada golekano,juru slamet” artinya : “ Buah pare,pohon (batangnya), daunnya,bunga dan buahnya, rasanya pahit semua, sekalipun di masak dengan bumbu apapun rasanya tetap pahit bisa berkurang rasa pahitnya, tetapi berkurang sedikit anehnya, banyak yang suka, hati-hati murid-murid harus mencari juru selamat , akan menjalar kearah timur”
          Tidak lama terjadi pemberontakan Batalion 426 Munawar (Darul Islam ), yang timbul di jawa tengah, yang akhirnya bisa di tumpas oleh TNI. Romo Panutan selalu menguji kemampuan Ma’Rifat murid-muridnya beliau selalu memberi petunjuk dengan cara yang halus kalau di kupas dengan cara nalar (otak) tidak mungkin bisa, oleh karena itu murid-muridnya dengan cara mohon dan mendapat jawaban di alam mimpi, begitu pula dengan Riwayat batang pare tadi, sesubur apapun tanaman pare tidak akan memenuhi tanaman rumah, lagi pula umurnya hanya beberapa bulan terus mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar