Rabu, 16 Mei 2012

BAB XIII PERKEMBANGAN KADANG GOLONGAN DI DAERAH GUNUNG KIDUL

Gunung Kidul dengan kota Wonosari adalah daerah pegunungan kapur dipesisir pantai selatan, menghadap Samudera Hindia dengan pantai rata-rata curam dan ombak (gelombang laut) cukup ganas. Posisinya bersebelahan dengan Pantai Parangtritis yang indah dan hamparan pasir putih yang sangat luas (tempat wisata). Namun di pantai selatan Gunung Kidul ada tempat wisata yang cukup indah namanya Pantai Baron, yang posisinya dicelah-celah Pegunungan Seribu cukup indah. Tempat wisata yang sudah dikelola cukup rapi penginapan tersedia, disekitar ada gua-gua tempat bermuaranya sungai-sungai bawah tanah, sungai sangat besar dengan air jernih, yang dengan tiba-tiba timbul dari celah-celah gua dan bermuara persis di tempat wisata tersebut. Sungai tersebut mengalir di dalam bumi mungkin berbelok-belok yang panjangnya tidak ada yang tahu sebab kalau ditarik garis lurus dari lokasi di daerah Semanu yang di daerah tersebut sungai tersebut kelihatan di mulut gua, namanya Gua Bribin sangat seram, suaranya bergemuruh, tidak bisa terjangkau dengan batterai lima belas volt, sangat menakjubkan, jarak kota Semanu sampai muara sungai tersebut di Pantai Baron kurang lebih tiga puluh kilometer, silahkan pembaca ke Indonesia, Gunung Kidul.
    Pada tahun 1937 di daerah tersebut ada kejadian yang cukup menggemparkan masyarakat, bahwa ada seorang Wedana yang pergi ke Pantai Baron bersama Controleur B.B. Wonosari dengan menaiki kuda mereka berdua pergi berekreasi ke Pantai Baron tersebut. Wedana tadi bernama R.W.Harjasujadi hilang ditelan ombak di Pantai Baron tersebut, dan jasadnya tidak diketemukan. Berbagai upaya dari keluarga maupun pihak pemerintah Belanda juga terjun mencarinya hasil nihil. Kyai-kyai kebatinan, dhukun-dhukun terkenal gagal menemukan R.W.Harjasujadi tadi. Untuk peristiwa seperti itu, memang jarang terjadi, berbeda untuk masa sekarang sudah biasa, orang meninggal tenggelam (terseret gelombang) hampir setiap bulan pasti ada.
    Pada waktu itu sedang marak orang-orang pinter ahli-ahli kebatinan mereka berusaha dengan cara masing-masing dengan syarat ini, syarat itu, ada yang mengadakan selamatan, ada yang bilang hari ini akan ditemukan asal dengan syarat tertentu akan tetapi sampai saat ini tidak pernah diketemukan jasadnya.
    Di daerah Semanu ada seorang tokoh yang sangat disegani namanya Sukiyata Marta Harja Sirwoko, biasa disingkat SMH Sirwoko. Untuk wilayah Semanu dan sekitar SMH Sirwoko tiada duanya kemampuan batinnya. Orang tersebut hobi tirakat (puasa) jarang tidur di rumah, sering tidur di tempat-tempat yang angker di gua-gua (perlu pembaca mengerti di daerah Gunung Kidul ada ratusan gua-gua). SMH Sirwoko ahli olah kanuragan / kedigdayaan / tidak mempan oleh senjata tajam dan dengan fisik tidak mempan oleh segala senjata apapun. Oleh para tokoh di daerah Semanu, SMH Sirwoko didaulat untuk mencari upaya supaya mendapat kepastian dimana RW Harjasujadi berada. Masyarakat umum sudah tahu kalau di daerah Muntilan ada seorang Kyai yang terkenal yaitu Carik Jagalan, yang menurut berita beliau seorang ahli ma’rifat yang sangat mumpuni. Untuk itu SMH Sirwoko diminta oleh anggauta masyarakat pergi ke Muntilan minta keterangan kepada Kyai Carik tersebut. SMH Sirwoko berangkat dengan diantar oleh Leo Sakima Prawirodiharjo, menantu Pak Sutek Prebutan seorang guru Katholik yang sudah menjadi kadang golongan.
    Romo Rps Sastrosuwignyo sudah tahu kalau akan kedatangan tamu yang namanya SMH Sirwoko, oleh karena itu Romo Panutan memanggil murid-muridnya untuk ikut menemui tamu tersebut, karena SMH Sirwoko adalah calon murid beliau yang sudah dicari sejak 1918. SMH Sirwoko langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Romo Panutan meminta kepada SMH Sirwoko untuk memohon sendiri kepada Tuhan, supaya bisa menyaksikan / melihat sendiri, dengan memakai cara-cara Tapa Brata (puasa) dan berbagai syarat yang telah ditentukan oleh Romo Panutan. SMH Sirwoko bersedia untuk menjalani apapun syaratnya, asal bisa dengan cepat mendapat keterangan yang jelas dimana RW Harjasujadi berada, bahkan dengan menjalani tirakat seberat apapun SMH Sirwoko ikhlas melaksanakan.
    SMH Sirwoko disuruh tapa merendam di sungai pada waktu malam hari selama sebelas malam sambil puasa (tidak makan dan tidak minum). SMH Sirwoko menyanggupi dan pasti akan dilaksanakan. SMH Sirwoko kembali ke Semanu, diperjalanan melewati Kali Oya (sungai Oya) dibawah jembatan kali tersebut SMH Sirwoko sudah mulai merendam (mandi disungai dengan waktu berjam-jam sampai badan kedinginan / menggigil), terus dilanjutkan ke Sungai Jirak dekat Semanu, juga di Kedhung Tompak bagian bawah sungai Jirak. Pembaca perlu mengerti sungai-sungai di Gunung Kidul biasanya curam-curam dengan tebing yang sangat terjal, biasanya di celah-celah bukit dengan batu karang yang sangat tajam. Resiko besar sekali, sarang ular cobra, ular belang, sarang Harimau Jawa, Harimau Gembong (penulis pernah melihat harimau tersebut yang pernah ditangkap, panjang dari hidung sampai pantat tiga meter, belum panjang ekornya). SMH Sirwoko memang berilmu tinggi bisa menaklukan semua yang menghalangi niatnya. Singkat kata dalam empat malam SMH Sirwoko mendapat ilham (mimpi) pada waktu itu dia bukan kadang golongan. Dia bermimpi, Awalnya melihat jalan dari daerah Semanu arah selatan sampai pesisir selatan, dia melihat dari awal sampai akhir RW Harjasujadi tercebur ke laut, sampai perjalanan RW Harjasujadi selanjutnya, bahwa dia tidak akan hidup kembali, bahkan Suksmanya nyasar turut Wahyu Sejating Puteri (Kanjeng Ratu Kidul) juga Napsunya Romo Rps Sastrosuwignyo.
    Dengan mendapat jawaban lewat mimpi tersebut, SMH Sirwoko sangat puas. Selanjutnya, adik, RW Harjasujadi minta tolong kepada Panutan, supaya semua keluarga tabah dan tenteram. Adik RW Harjasujadi yang bernama KRT Suryaningrat, juga bisa membuktikan sendiri lewat mimpi, bahwa kakaknya memang sudah jelas meninggal dunia dan Suksmanya tersesat, akhirnya keluarga yang ditinggalkan semua ikhlas.
    SMH Sirwoko belajar Ilmu Tiga Perangkat, tidak lama dia lulus (katam). SMH Sirwoko ditest segala macam oleh Romo Panutan dia bisa mengerti, pada awalnya SMH Sirwoko meremehkan Romo Panutan akan tetapi setelah menyaksikan sendiri kelebihan dan tingginya ilmu yang dimiliki Romo Panutan pada akhirnya SMH Sirwoko takluk, takut, dan sangat menghormati Romo Panutan.
    Bahkan setelah teringat pada waktu SMH Sirwoko tirakat (tapa) di gua Rancang Kencana di daerah Playen, Gunung Kidul dia didalam semedinya diganggu / digoda oleh roh halus perempuan. Dia selamat tidak tergoda karena ditolong oleh orang tua yang memakai alas kaki dari kayu (bakiak) yang sebetulnya orang tua itu ternyata Romo Resi Pran Soeh Sastrosuwignyo yang sekarang menjadi gurunya. SMH Sirwoko mendapat tugas dari Romo Panutan supaya membantu mengembangkan Ilmu Tiga Perangkat. Dia mendapatkan dua orang kakak beradik yang terus bergabung ikut kadang golongan. Orang tersebut Martosuwito dan adiknya Sukirman Pudjosuwito, kedua orang tersebut masih kerabatnya kakak SMH Sirwoko satu kakek. Pada waktu itu Sukirman Pudjosuwito masih giat-giatnya belajar agama Islam di berbagai Pondhok Pesantren.
    Memang keluarga orang bertiga termasuk kakek dan buyut orang-orang yang taat kepada ajaran Islam. Kakek buyut dari Martosuwito dan Pudjosuwito seorang Naib (penghulu) di daerah Semanu tersebut bernama Abdul Latip, seorang Kyai kondang (sangat disegani) diwilayah Semanu tersebut. Begitu juga kakeknya yang bernama Abdul Kasim seorang Bong Supit (tukang sunat) yang tiada duanya ilmunya, sebab kalau nyunati anak-anak tidak ada yang pendarahan dan cepat sembuh. Sukirman Pudjosuwito tertarik Ilmu Tiga Perangkat dan tergugah untuk belajar karena pada waktu itu salah satu kakaknya akan meninggal (karena sakit) memanggil adiknya (Sukirman Pudjosuwito). Kakaknya bilang kalau semua hafalan di Kitab Suci semuanya lupa, dia bilang kepada adiknya minta dituntun dibacakan Ta’awud, Syahadad, Al-Fatekhah dan surat-surat lainnya untuk bekal mati. Pudjosuwito tertegun dan heran kenapa bacaan yang setiap hari sudah hapal diluar kepala bisa lupa, padahal kakaknya yang akan meninggal tadi tentang ke-Islamanya jauh sekali diatas kapandaian Pudjosuwito mengapa bisa lupa? Malah kakaknya waktu menjelang ajalnya mengeluh Gelap dan Bingung. Seperti orang yang tidak mempunyai Kepercayaan / Keyakinan. Pudjosuwito dalam hati teringat,”Menurut ilmu yang saya terima dari berbagai pendidikan pesantren orang yang nantinya sampai di Alam Kubur akan ditanya dan harus ingat enam perkara, sekarang kakak belum mati semua hapalan sudah lupa, padahal hari-hari kemaren masih hapal terus saya nanti bagaimana yang hanya menguasai ilmu jauh dibawah kakak saya, terus ilmu apa lagi yang akan saya pelajari supaya bisa untuk bekal mati.”
    Dengan berbagai cara SMH Sirwoko membimbing kakak beradik tersebut menghayati Ilmu Tiga Perangkat tidak sampai satu tahun berdua lulus (katam). Selanjutnya ada murid-murid baru yang turut belajar menjadi anggauta kadang golongan seperti, Martawiyogho, Martaradana, Martasuyitna dan Resodiryo, jadi semua tujuh orang yang nantinya adalah sahabat-sahabat sejati dari Romo Panutan, mereka orang-orang pilihan dari Romo Panutan dan nanti akan ada lagi yang akan menjadi murid-murid terdekat dan terpercaya dari Romo Panutan yaitu, Martasudarsana, Satiya Darmowasito, Sastrapura dan Ong Swie Gien (Pak Brata). Jadi jumlahnya sebelas orang, sepuluh orang ada di Gunung Kidul yang satu di Yogyakarta.
    Penulis menceritakan pelaku-pelaku sejarah apa adanya supaya pembaca bisa mengambil bagian-bagian yang kira-kira cocok untuk dipelajari, mungkin ceritanya agak panjang akan tetapi setiap murid Romo Panutan mempunyai sejarah hidup masing-masing, mengapa mereka masih ikut belajar Ilmu Tiga Perangkat padahal melihat sejarahnya mereka sudah betul, menjalani ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
    Karena murid-murid tersebut memang panggilan Tuhan dari dulu memang tidak terpisahkan. Mereka timbul di dunia lagi dan berkumpul lagi. Mereka tercerai berai karena dunia kena bencana Air Bah pada jaman Nabi Nuh. Untuk saat ini mereka timbul lagi di dunia, tersebar di seantero jagad ini / re-inkarnasi. Untuk murid-murid yang sudah katam pasti mohon kepada Tuhan “Ya Tuhan apakah hamba sebelum hidup sekarang ini pernah mengalami hidup di masa lampau dan ada di negara mana saya hidup. Apakah saya juga ikut Romo Panutan pada waktu itu?”
    Semua umat manusia boleh menanyakan kepentingan apa saja Tuhan tidak akan menolak, asal jangan sampai dikotori dengan tindakan melanggar empat larangan dan tetap memenuhi kewajiban tujuh perangkat serta kuat puasanya (misalnya dilarang makan yang ada unsur garamnya dalam waktu sebelas hari sebelas malam terus menerus). Kalau perlu tidak makan tidak minum tiga hari tiga malam terus menerus, itu syarat untuk bisa dialog dengan Tuhan. Jadi bekalnya bukan harta, bukan pangkat tinggi, bukan intelek (kepandaian) tetapi kejujuran, ketulusan, kesucian, kerendahan hati, tenggang rasa terhadap sesama. Tidak boleh sombong, angkuh, kejam terhadap sesama, pendendam, tidak bertanggung jawab, dan lain sebagainya yang intinya harus mengekang hawa napsu (emosi) dan masih banyak lagi perilaku-perilaku yang negatip yang harus kita hindari selama hidup.
    Jadi tujuan penulis memang sengaja membuka tabir Rahasia Hidup Mati ini untuk mencari murid-murid yang lain yang tersebar diseluruh dunia. Sebab sekarang ini yang banyak timbul di Indonesia yang baru tergugah, untuk dikawasan lain belum muncul. Penulis dan kadang golongan selalu rutin memohon kepada Tuhan supaya mereka diingatkan supaya mereka berkumpul lagi meskipun jumlahnya tidak banyak, untuk turut membantu supaya dunia ini tenteram dan makmur saling membantu saling bahu membahu jauh dari permusuhan sebab kalau timbul permusuhan pasti akan menjadi mangsa Wahyu Sejatining Puteri / Wahyu Sejatining Kakung. Kalau kita timbul lagi di dunia, pasti akan memetik hasil perbuatan kita (hukum karma).
    Kita kembali kedepan, perjuangan para pioner-pioner kadang golongan semakin meluas ke berbagai wilayah, namun masih didalam wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.
    SMH Sirwoko diberi kepercayaan oleh Romo Panutan untuk mengkoordinir kadang golongan, dia mendapat tugas didaerah Godean untuk membantu Secaharjana, SMH Sirwoko mencari pekerjaan sambilan menjadi guru Mohamadiyah sambil memperdalam agama Islam. Martaradana berada di daerah Gunung Kidul bagian barat didesa Ngleri, Playen. Martowiyoga khusus di kota Wonosari (pusat Gunung Kidul) dan juga wilayah Imogiri (pantai selatan kota Yogyakarta dan sekitarnya). Kemudian Pudjosuwito dan Sastrasarjana khusus pembinaan di Wonosari sekitarnya membantu Martowiyoga. Di daerah Semanu Martasuwita yang memimpin.
    Martosuwita salah satu murid yang cukup disegani didaerah selatan menjabat guru Sekolah Rakyat dia juga tokoh agama dan cukup tinggi ilmu ma’rifatnya sebelum menjadi anggauta kadang golongan, pada suatu malam dia pernah mimpi, bertemu dengan orang tua yang bernama Sunan Kalijaga, berpakaian jas putih dan memakai surban dengan cahaya terang, Martosuwito berjumpa dengan Sunan Kalijaga di Kali Jirak wilayah Bangsong. Pada waktu itu Martosuwito sedang belajar salah satu ilmu kabatinan. Pada saat Martosuwito menghadap Romo Rps Sastrosuwignyo, dia terkejut karena Sunan Kalijaga ternyata adalah Romo Panutan tersebut, sehingga menambah keyakinannya bahwa sebetulnya antara Sunan Kalijaga dan Romo Panutan tidak ada bedanya. Hanya kalau Sunan Kalijaga hidup pada masa Kerajaan Demak pada abad ke lima belas, kalau Romo Rps Sastrosuwignyo lahir pada tahun 1868, artinya karena Romo Rps Sastrosuwignyo ketempatan wahyu Roh Suci / Wahyu Utusan maka Sunan Kalijaga pun sama seperti Romo Panutan.
    Martosuwito mempunyai dasar ilmu kebatinan sebelum menjadi kadang golongan apalagi ilmu agamanya termasuk mumpuni sehingga dikalangan agama banyak masanya  / murid-muridnya, begitu juga dikalangan orang-orang kabatinan banyak temennya sehingga di daerah Semanu anggauta kadang golongan semakin hari semakin berkembang, banyak orang meminta tolong kepada Martosuwita (yang dibantu Ibu Martosuwito) melayani warga sekitar yang mendapat kesulitan, kemudian orang-orang tersebut disarankan untuk memohon kepada Tuhan sendiri dengan diberi petunjuk cara-cara memohon supaya mendapat mimpi jelas.
    Romo Rps Sastrosuwignyo jarang sekali bepergian, kecuali kalau memang sangat penting. Untuk mengembangkan ilmu Romo Panutan tidak pernah sampai turun tangan sendiri sebab beliau sangat tahu apa yang akan terjadi, beliau tahu misalnya akan ada tamu, tamu calon murid atau bukan tergantung keperluan tamu tersebut, kalau kira-kira tamu tersebut hanya akan mencoba  (mencari masalah karena tidak percaya Ilmu Tiga Perangkat, biasanya Romo Panutan sulit ditemui), penulis tidak tahu beliau pergi atau di rumah, murid-murid yang lain juga tidak ada yang tahu.
    Yang jelas kalau ada murid (calon) yang nantinya sangat berguna untuk pengembangan ilmu, biasanya Romo Panutan sudah ada didepan pintu menyambut tamu tersebut dengan sangat ramah (ini kesaksian dari para murid-murid beliau yang sekarang sudah banyak yang meninggal dunia). Dalam pepatah Jawa yang sangat terkenal “Sumur Golek Timba” semestinya “Timba Goleki Sumur” yang artinya tidak mungkin orang akan mengambil air di sumur, sumur itu mendekati kita, yang umum kita yang harus mendekati ke sumur itu, dengan alat tali (tambang dan ember) baru kita menimbanya, itu untuk menjaga jangan sampai ilmu ini diobral, dipaksakan, apalagi dengan janji-janji supaya orang tertarik. Romo Panutan melarang keras cara-cara seperti itu. Cara yang benar kadang golongan memohon kepada Tuhan misalnya,”Ya Tuhan tugas apa yang harus saya lakukan untuk supaya mendapat tunggal satu ilmu.” Kalau memang tidak ditugaskan oleh Tuhan, orang tersebut tidak akan mendapat tunggal, biarpun dia pintar menerangkan Ilmu Tiga Perangkat sekalipun. Akan tetapi kalau petunjuknya mendapatkan tugas dari Tuhan dia akan mendapatkan jawaban lewat mimpi misalnya orang tersebut mimpi Ngurit (menanam bibit padi) itu artinya kadang golongan tadi mendapat tugas dari Tuhan untuk mengembangkan ilmu mancari tunggal, dia pasti berhasil, dan tunggal tersebut sebetulnya bukan orang lain, tunggal tadi re-inkarnasi murid-muridnya Nabi Nuh waktu timbul di dunia, kalau bukan dulunya kadang golongan orang tersebut tidak akan tertarik mempelajari ilmu ini, jadi tidak ada alasan takut nanti kelompoknya akan pindah ke kadang golongan, tidak mungkin, contoh kambing domba akan kembali kekelompoknya meskipun dicampur dengan kambing apapun.
    Romo Panutan biasa berkumpul murid-muridnya pada peringatan hari-hari besar, atau kadang-kadang hadir dalam resepsi pernikahan anak-anaknya, atau khitanan (sunatan) anak dari murid-muridnya. Yang sering didatangi Romo Panutan daerah Gunung Kidul. Karena di daerah tersebut Romo Panutan mempunyai anak yang ada di daerah tersebut, disamping itu Gunung Kidul tempat sahabat-sahabat terdekat yang berjumlah sebelas orang, sepuluh diantaranya ada di Gunung Kidul, seperti telah penulis sebutkan diatas.
    Perkembangan Ilmu Tiga Perangkat di Gunung Kidul sangat pesat dan itu sangat wajar sebab sepuluh sahabat Romo Panutan yang ada disana, awalnya memang tokoh-tokoh yang sangat disegani dan sangat besar pengaruhnya terhadap warga sekitarnya. Disamping itu memang sudah kodrat bahwa murid-murid Nabi Nuh kebanyakan timbul disana, meskipun sekarang sudah sangat berkurang karena kebanyakan sudah meninggal, artinya harus menunggu beberapa puluh tahun lagi timbul di dunia, itu pun bisa timbul di negara lain. Penulis dan kadang golongan baru mendapatkan petunjuk dari Tuhan bahwa mereka akan menyebarkan diseluruh dunia, namun ada juga yang baru timbul belakangan (generasi dulu yang timbul tidak bersamaan dengan murid-murid senior). Kalau Tuhan berkenan mudah-mudahan kadang golongan tadi akan dibukakan hatinya dengan berbagai proses hidup, mereka akan tertarik Ilmu Tiga Perangkat ini atau mungkin salah satu dari pembaca sendiri, penulis tidak tahu. Akan tetapi yang jelas manusia pasti akan meninggal, pengertian meninggal untuk murid-murid Romo Panutan memang berbeda dengan pandangan kebanyakan orang, kalau memang ada yang menyamai kami bersyukur. Karena orang yang dikatakan meninggal, Jasad ditinggal Nyawa yang masih menyatu dengan Suksma, karena Jasad tersebut mengalami kerusakan yang sangat vital misalnya jantung tidak berdenyut, sehingga Nyawa dan Suksma tadi tidak mau menempati Jasadnya, akan tetapi si Suksma belum tentu dipanggil Tuhan, karena waktu hidupnya dulu tidak dilatih untuk berpisah dengan Nyawa waktu masih menyatu dengan Jasadnya. Kalau istilah umum mungkin yang disebut masuk Neraka. Yang dimaksud disini Suksma itu juga masuk Neraka (hukuman) kalau si Nyawa memang tempatnya di Neraka tersebut. Mungkin disini letak perbedaan pengertian umum tentang Raga, Nyawa dan Suksma. Penulis akan bersenang hati kalau ada pembaca yang percaya, apalagi pernah membuktikan sendiri dengan mata batin (ma’rifat) tentang Ilmu Tiga Perangkat tadi.
    Penulisan mempunyai harapan seperti itu, artinya sebelum belajar mencari Ilmu Tiga Perangkat, ternyata tanpa disengaja sudah pernah bertemu dengan wujudnya Nyawa sendiri misalnya, itu nilai yang sangat tinggi, bisa mengenali Dirinya Sendiri artinya ada harapan mengenal Tuhan. Banyak contoh murid-murid Romo Panutan yang sebelum belajar / menghayati Ilmu Tiga Perangkat sudah pernah menyaksikan sendiri salah satu dari tiga Ilmu tersebut, bisa bertemu Utusan Tuhan, bisa bertemu Cahaya Tuhan, bisa bertemu Nyawa Sendiri. Hanya karena tidak ada yang membimbing (yang menjelaskan) mereka tidak tahu itu apa dan siapa, bagaimana, ya karena memang Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan itu pun pasti orang yang bersih dan jujur. Kalau tidak bersih jiwanya dan tidak jujur budhi pekertinya tidak akan mungkin bisa bertemu dengan salah satu dari ketiga ilmu tersebut.
    Romo Rps Sastrosuwignyo mempunyai anak empat belas akan tetapi yang hidup hanya enam terdiri dari empat laki-laki dan dua perempuan. Sudah barang tentu cara mendidik anak bisa untuk pedoman umat manusia secara lahir. Untuk batin pasti sulit murid-muridnya, karena Romo Panutan bisa mengetahui isi anak-anaknya, bahkan batin anak-anaknya Romo Panutan juga mengetahui. Oleh karena itu beruntung sekali yang menjadi anak Romo Panutan, hanya masalahnya kalau kita balik, apakah anak-anaknya juga paham siapa sebenarnya ayahnya tersebut? Mudah-mudahan anak-anaknya mengerti, kalau sudah mengerti bersyukur, tetapi kenyataannya memang tidak mudah untuk mengetahui siapa Romo Rps Sastrosuwignyo. Harus belajar mencari Ilmu Tiga Perangkat sampai lulus (katam). Tanpa menghayati Ilmu Tiga Perangkat mustahil bisa berhubungan dengan Tuhan, lewat Utusan. Kecuali orang-orang kepercayaan Romo Panutan seperti Ahmad Suhada, SMH Sirwoko, Martosuwita dan nantinya juga ada murid-murid baru yang akan menjadi kadang golongan.
    Romo Rps Sastrosuwignyo, kakek, kakek buyutnya, bukan orang sembarangan. Oleh karena itu wajar kalau lahir cucunya juga bukan orang sembarangan (Romo Panuta). Orang-orang Jawa jaman dahulu senang oleh batin kecuali untuk bekal mati, juga untuk memohon kepada Tuhan supaya anak cucu dan buyut menjadi orang sukses, menjadi orang besar, menjadi orang yang berguna untuk negara atau agama, biasanya begitu. Paling tidak memohon supaya anak / cucu selamat lahir / batin. Untuk sekarang mungkin sudah jarang orang berani menahan lapar tiga hari tiga malam, tidur disembarang tempat. Untuk apa, takut sakit, takut digigit ular berbisa, itu sudah kuno dan sebagainya. Sebab sekarang jaman modern, semua bisa diatasi dengan teknologi. Masalah mati urusan Tuhan. Penulis setuju untuk teknologi, akan tetapi perlu direnungkan kalau masalah orang mati pasti dipanggil Tuhan. Artinya pasti kembali ke Tuhan, kan? Terus logikanya orang jahat dan orang baik / jujur semua pasti dipanggil Tuhan. Artinya baik dan buruk tidak ada bedanya ? Lalu untuk apa kita belajar agama, rajin ibadah, berbuat kebaikan kalau hasilnya sama dengan penjahat. Nah itu maksud penulis jangan sampai umat manusia terlalu jauh melupakan Tuhannya. Jangan menganggap mudah masalah urusan mati. Penulis akan memberi sedikit tekanan tetapi bukan berarti menakut-takuti. Perlu diketahui sehabis kematian, jasad dikubur atau dibakar, roh jahat (Nyawa) yang didalamnya ada Roh Suci (Suksma) itu masih merasa hidup. Jangan jangan ada pandangan Mati Itu Tidak Ingat. Pandangan itu keliru, coba renungkan setiap orang nantinya ingin ke surga, yang disana banyak anggur, diayani bidadari, apa-apa tersedia, disana enak, tidak ada siang, tidak ada malam, tidak ada panas, pendek kata sangat menyenangkan (penulis sendiri percaya meskipun tidak semuanya benar, karena penulis pernah belajar untuk membuktikan alam tersebut. Hanya masalahnya penulis tidak ingin tinggal ditempat itu. Penulis mohon bisa menghadap Tuhan yang disitu tidak ada kepentingan Napsu seperti buah anggur, dan bidadari. Mungkin diatas penulis sudah berkali-kali memberi gambaran, Suksma kemana, Nyawa kemana, Jasmani kemana supaya pembaca yang berminat belajar mencari Ilmu Tiga Perangkat untuk bekal mati supaya tidak bingung. Kecuali yang tidak tertarik lho! Penulis menghargai orang yang tidak percaya, sesuatu hal yang wajar dan itu seratus persen betul. Masak tidak melihat / membuktikan bisa percaya, kan aneh. Untuk itu masalah hidup sesudah mati kalau diperdebatkan tidak ada ujung pangkalnya. Kecuali membuktikan sendiri sebelum mati. Boleh meminjam istilah Latihan Mati Didalam Hidup, atau sebelum mati yang sebenarnya kita belajar mati. Begitu bangun dari belajar mati kita bisa bercerita kepada orang lain saya melihat ini, melihat laut, melihat pasar, melihat hutan, melihat jurang-jurang, melihat kegelapan. Kita berjalan melewati jurang, melewati yang tempat sangat menakutkan, melihat binatang, melihat wujud-wujud yang menakutkan, kita merasa tidak mengenal siapapun, kita selalu ketakutan, kita makan-makan, melihat kambing, melihat kuda, melihat sapi dan kerbau, melihat ular, bahkan kita mimpi tidak mempunyai rumah, dan tidak ingat keluarga, tidak ingat anak-anak isteri, tidak ingat sembahyang (berdoa) apalagi ingat kepada Tuhan.
    Akan tetapi semua akan hilang penderitaan tersebut manakala kita terbangun dari tidur kita. Terus bagaimana kalau kita tidak bisa bangun? Artinya meninggal bukan? Dan penderitaan tersebut berjalan sangat-sangat lama tidak ada batasannya. Bayangkan kita tidur selama tiga uluh menit, dialam mimpi kita bisa kemana-mana mungkin beratus-ratus kilometer, sedangkan kalau meninggal waktunya pembaca bisa bayangkan sendiri.
    Keterangan diatas penulis memberi contoh itu yang namanya Alam Antara, tempat Roh Jahat yang masih lengket (menyatu dengan Roh Suci) menunggu putusan peradilan dari Utusan Tuhan, apa yang meninggal tadi tetap disitu atau kembali ke bumi atau ditolong Utusan (diampuni dosanya yang selanjutnya diantar menghadap Tuhan). oleh karena itu supaya di Alam Antara jangan sampai terlalu lama, wajib sebelum meninggal latihan mengenal dirinya sendiri, mengenal Cahaya Tuhan, mengenal Utusan Tuhan (Ilmu Tiga Perangkat).
    Romo Rps Sastrosuwignyo cara mendidik anak sepenuhnya selalu diawasi / dikontrol sebab segala sesuatunya yang mengurusi anak-anak adalah isterinya (Ibu Panutan) yang terpenting anak tidak terlalu dimanja, keinginan anaknya dituruti menurut kebutuhan yang penting-penting saja, dan jangan sampai kecewa. Kasih sayang terhada anak tidak perlu ditonjolkan yang terpenting tanggung jawab dalam segala hal harus dipenuhi. Kalau anak-anaknya sedang tidur Romo Panutan tidak pernah mengganggu, jangan sampai menimbulkan suara-suara gaduh, berjalanpun sampai kakinya jinjit-jinjit supaya tidak menimbulkan suara.
    Kalau isterinya sedang sakit (dan anaknya masih minum ASI) terpaksa harus diberi minum Milk (susu sapi) yang sebetulnya tidak boleh minum Milk tersebut, sebab nantinya akan terpengaruh dengan budhi pekertinya sapi (binatang). Yang betul anak kecil ya minum ASI. Romo Panutan tidak pernah bicara kasar terhadap anak-anaknya, apalagi berbicara jorok (kotor) dan murid-muridnya pun dilarang keras bicara yang kotor / kasar, sebab bisa berakibat jelek terhadap orang tersebut.
    Mengenai pendidikan sekolah, Romo Panutan sering memarahi anak-anaknya supaya maju, untuk pendidikan agama Romo Panutan tidak mengekang anak-anaknya, semua diserahkan menurut selera dan pilihannya masing-masing. Mengenai belajar Ilmu Tiga Perangkat Romo Panutan tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk belajar. Apalagi Romo Panutan memang sudah tahu isi anak-anaknya nantinya bagaimana.
    Mengenai anak yang ada hubungannya dengan agama, Romo Panutan memberi contoh, sejarah Kanjeng Nabi Nuh. Nabi Nuh mempunyai anak tiga. Yang satu mentertawakan ayahnya, yang kedua setengah percaya setengah tidak percaya dan yang ketiga taat dan percaya kepada Nabi Nuh. Ada cerita riwayat Nabi Nuh, pasti pernah mendengar. Tatkala Nabi Nuh kelihatan bagian tubuh yang sangat rahasia (kemaluan, maaf) anak-anaknya berlainan menyikapinya. Yang pertama mentertawakan, yang kedua masa bodoh, yang ketiga menutupi aurat yang kelihatan tersebut. Jadi jelaskan antara anak dan orang tua tidak ada jaminan kalau pasti satu arah keyakinan. Mungkin cerita tersebut hanya sekedar memberi contoh kepada umat manusia kalau dikemudian hari ada perbedaan-perbedaan itu memang dari dulu seperti itu, dan itu tidak bisa dipaksakan apalagi menyangkut keyakinan. Biarkan keluarga kita memilih keyakinan / agama sesuai pilihan hati nuraninya. Bukankah tujuannya sama, ingin kembali menghadap Tuhan. Diatas sudah penulis jelaskan didalam test (ujian) kepada murid-murid Romo Rps Sastrosuwignyo, apa bedanya Suksma Sucinya Kanjeng Nabi Muhammad dengan Tuhan Yesus dan bandingkan dengan diri Romo Rps Sastrosuwignyo, apa bedanya. Tingginya selisih berapa senti? Terus disambung lagi bedanya Sultan Agung dari Mataram? Bedanya lagi dengan Sunan Kalijaga? Coba pembaca cermati!! Dan silahkan mohon sendiri. Contoh, anda yakin kalau misalnya penulis memberi benda serbuk putih menyerupai serbuk garam, bahwa itu betul-betl garam pasti jawabannya anda harus menjilatnya dengan lidah, baru anda menjawab oo iya ini garam, asin sekali rasanya. Sebab ada barangnya sama seperti tersebut diatas akan tetapi rasanya tawar, karena itu memang bukan garam, itu serbuk (pecahan kaca / gelas). Jadi pembaca harus membuktikan baru percaya dan yakin bahkan berani bersumpah karena sudah membuktikan sendiri, melihat sendiri, merasakan sendiri. Bukan katanya.
    Romo Panutan menyekolahkan anak-anaknya di Sekolah Katholik, sebab di Muntilan yang maju memang sekolah tersebut. Beliau sangat menyayangi anak-anaknya, sebab anak memang bagian dari hidup. Oleh karena itu jangan sekali-kali menghina atau menyakiti anak-anaknya sebab artinya sama juga menghina beliau. Untuk anak laki, perempuan, menantu Panutan tidak pernah membeda-bedakan orang biasanya kalau mempunyai anak laki-laki bangga, karena anak laki besar tanggung jawabnya. Jawabannya tidak juga, tergantung anak tersebut, coba kalau anak laki tersebut benar kalau kalau tidak benar bagaimana? Malah biasanya anak perempuan lebih peduli kepada orang tua manakala orang tua sedang menderita sakit. Jadi Panutan sangat adil terhadap anak-anaknya. Mengenai soal warisan tergantung nasib anak-anaknya. Kalau anak yang ekonominya lemah bagiannya pasti lebih banyak supaya hidupnya tidak berat, sebaliknya yang ekonomi sudah stabil (mapan) dinasihati diberi pengertian tentang bagian warisan berbeda sedikit sehingga semuanya menerima dengan senyum.
    Beliau waktu mempunyai isteri status agama Islam. Oleh karena itu dengan nikah secara agama Islam pada suatu saat Ibu Panutan (isteri Romo Panutan) meminta izin untuk baptis secara Katholik, karena kena pengaruh saudaranya yang beragama Katholik. Romo Panutan melarangnya. Romo Panutan memberi keterangan,”Kalau kamu baptis karena timbul dari hati sucimu saya mengizinkan, akan tetapi kalau karena pengaruh saudara-saudaramu, saya tidak mengizinkan, itu tidak boleh dan saya tidak rela. Daripada menuruti kemauan saudara-saudaramu lebih baik mengikuti saya karena saya suamimu. Bukankah kamu satu keyakinan dengan saya? Kita kan cocok dengan apa saja, karena sebenarnya dzad atau wujud itu satu, tetapi orang menganggap berbeda-beda.”
    Romo Rps Sastrosuwignyo kalau menjodohkan anak selalu berpedoman petunjuk Tuhan. Apalagi beliau memang sudah tahu masing-masing jodoh anak-anaknya. Romo tidak pernah melihat perbedaan kelas, kaya miskin, punya kedudukan atau tidak, itu tidak penting, apalagi mengenai mas kawin, beaya, syarat berupa materi misalnya, Romo tidak pernah berpikir soal itu. Kalau memang dilihat dengan mata batin sudah jodoh, ya langsung perkawinan dilaksanakan, terkecuali kalau memang kedua belah menghendaki pesta (sepakat) baru diadakan pesta / resepsi.
    Romo Panutan kalau memberi petunjuk kepada kadang golongan dengan kata-kata semu, samar, halus, seperti kiasan sehingga murid-muridnya harus cerdas menerima petunjuk tersebut. Itu memang sengaja supaya murid-muridnya rajin memohon apa yang dimaksud petunjuk Romo tadi. Terus malam harinya semua murid-murid yang hadir memohon keterangan kepada Tuhan, terkecuali kalau ditujukan kepada murid yang kurang cerdas, biasanya Romo memberi keterangan apa adanya (penulis termasuk murid yang bodoh, mungkin kalau pada waktu itu ikut menghadap Romo mungkin bingung).
    Pada waktu Romo Panutan akan meresmikan perkawinan anak perempuannya, Romo sebelumnya sudah tahu nanti yang akan menjadi anak mantunya, begitu pula para murid terdekat, sahabat-sahabatnya juga sudah mendapat petunjuk dari Tuhan bahwa tidak lama lagi Romo Panutan akan menyelenggarakan perkawinan. Marta Asmara salah satu kadang golongan yang sudah katam (guru sekolah) dari Wonosari, Gunung Kidul, telah mendapat petunjuk lewat mimpi, bahwa calon isterinya nanti adalah anak perempuan gurunya. Jadi Marta Asmara nantinya akan menjadi anak mantu Romo Rps Sastrosuwignyo. Karena sudah jelas calon isterinya anak Romo Panutan, Marto Asmara sudah tidak ragu-ragu lagi dia memberanikan diri mengirim surat kepada calon mertuanya (dulu belum ada HP di Indonesia) menyuruh keluarga yang dapat dipercaya untuk menyampaikan surat kepada Romo Panutan. Isinya surat sangat halus tidak berterus terang bahwa sebetulnya bermaksud melamar, akan tetapi masih sangat tersamar (takut jangan-jangan ditolak barang kali). Isi surat itu berbunyi,”Minta bibit kemiri.”(kalau penulis yang dimintai biji kemiri langsung penulis kirim satu kilo). Akan tetapi Romo Panutan sebelumnya sudah mengerti yang dimaksud Marta Asmara.
    Romo Panutan menyampaikan jawaban lewat surat juga isinya begini dalam bahasa Jawa,”Hasareng punika kula ngentunaken wiji kemiri, kajawi punika kula gadhah wiji sekar mandhalika, nedheng-nedhengipun mekar-mekar. Kula kinten sae lan cocok sanget katanema wonten Gunung Kidul, temtu badhe ngrembaka, woh lan thukulanipun kathah, yen sak kinten nak guru ngersakaken, supadhos kengkenan mendet, tinimbang namung kabatos.” Kalau dalam bahasa Indonesia kurang lebih begini,”Bersama surat ini saya mengirim benih kemiri, selain daripada itu saya juga mempunyai bibit bunga mandhalika yang bunganya sedang mekar-mekarnya, saya kira cocok sekali untuk ditanam di daerah Gunung Kidul, pasti akan berkembang buah dan tunasnya akan banyak tumbuh, kalau memang kira-kira nak guru menginginkan, silahkan menyuruh orang untuk mengambilnya daripada terpendam didalam hati.”
    Setelah surat dibaca dari pihak keluarga dan kadang golongan Gunung Kidul, sudah tidak ragu-ragu lagi dan mempersiapkan lamaran secara resmi sampai akhirnya terwujud kejenjang perkawinan anak Romo Panutan yang bernama Rr. Wening dengan Marta Asmara, yang akhirnya dikaruniai anak banyak dan cucu banyak pula. Saat penulis menyusun tulisan ini Ibu Rr. Wening berusia kurang lebih sembilan puluh tahun, Bp Marta Asmara sudah berpulang.
    Kadang golongan semakin berkembang terutama di Gunung Kidul, untuk Muntilan kurang berkembang. Semakin banyak kadang golongan terdiri dari murid-murid terpelajar dan dibantu para sesepuh akhirnya dibentuk organisasi paguyuban yang bernama OMM (Oemat Mohamad Muntilan) dari pihak murid-murid yang beragama Katholik meminta diganti yang sifatnya umum, kemudian diganti Oemat Mohamad Manunggal maksudnya supaya kadang golongan Manunggal, tekad manunggal batin, seterusnya diganti Oemat Marsudi Ma’rifat. Yang terakhir ini terasa sudah pas, dari murid-murid yang beragama Katholik sudah cocok karena Ilmu Tiga Perangkat memang ilmu Ma’rifat (terbukanya mata batin). Memang mengherankan karena untuk ajaran agama Katholik ilmu ma’rifat sebetulnya tidak ada, namun setelah mereka belajar tentang mimpi, mereka menyadari memang ilmu gaib itu memang ada, sehingga murid-murid yang beragama Katholik bertambah ilmunya disamping membaca kitab suci Injil dan rajin ke gereja, mereka bisa langsung berhubungan dengan Sucinya Tuhan Yesus, dengan Nabi Muhammad, dengan Nabi Nuh, dengan Nabi Ibrahim, dengan Sultan Agung dari Mataram, dengan Sunan Kalijaga dan dengan Romo Rps Sastrosuwignyo tidak ada bedanya, sebab itu dzad / wujud satu. Metode tetap dengan alam sasmita maya / mimpi.
    Kemudian dibentuk pengurus paguyuban antara lain SMH Sirwoko, Martaradana, Martowiyoga, Martasuwito dan lain-lainnya. Sehingga kadang golongan cepat tersebar di daerah Kedu, Sleman, lebih-lebih Gunung Kidul sangat pesat perkembangannya. Mengingat kadang golongan terdiri dari berbagai agama dan keyakinan para pengurus harus mengerti semua ajaran agama yang ada begitu pula harus paham pula dengan ajaran-ajaran kebatinan yang sangat beragam yang dianut oleh warga masyarakat Jawa khususnya. Beruntung para pemimpin organisasi (para sesepuh) umumnya selain beragama mereka juga menguasai ilmu-ilmu kebatinan sebelum belajar Ilmu Tiga Perangkat sehingga mereka siap mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh murid-murid tersebut. Sebab inti pokok harus melihat sendiri, membuktikan sendiri dan merasakan sendiri sehingga jarang terjadi perbedaan penafsiran, semua rukun dan kompak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar